Oleh Zulfata. Direktur Sekolah Kita Menulis (SKM), dan penulis buku “Membaca Indonesia: dari Kekuasaan, oleh dan untuk Kekuasaan)
Adakah pemerintahan Aceh serius membahas Nilai Ekonomi Karbon (NEK) di saat Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) mengincar NEK? Atau jangan-jangan pemerintah Aceh sengaja tidak peduli dengan itu agar dapat bermain serong dalam pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di Aceh.
Jauh sebelum menyinggung potensi Aceh dari sisi pertambangan, mineral dan batu bara, emas, cadangan minyak hingga uranium di Aceh, terdapat juga potensi kerawanan generasi muda Aceh sebagai pengelola Aceh masa depan yang kabur pikirannya terkait memahami Aceh dari sektor ekonomi politik, sehingga generasi terseret arus pembodohan politik elektoral yang kemudian justru menjadikan generasi Aceh berpolitik seperti gerombolan bebek. Lupa sejarah, berkabut pekat di masa depan.
Termasuk saat membahas Aceh Leuser Antara (ALA) yang selalu terjebak pada dalam pandangan politik elektoral, ego sektoral. Semua itu memang terasa tidak lengkap, bahkan pingcang saat membahas ALA. Sekali lagi, skema pemekaran provinsi ALA bukanlah jalan buntu, akselerasi kesejahteraan berbasis ekonomi pembangunan serta transparansi pengelolaan SDA juga berada di sana. Sampai kapan pemerintahan Aceh hari ini main kucing-kucingan memandang potensi kesejahteraan rakyat Aceh berbasis pemekaran provinsi ALA? Yang lebih buruk lagi adalah keengganan rakyat-generasi muda yang merasakan tidak begitu perlu mendalami “jalan emas kesejahteraan rakyat Aceh” berbasis ALA.
Kembali ke peluang nilai ekonomi karbon, wilayah ALA nyaris memproduksi karbon setiap detik, lantas masyarakatnya medapatkan apa? belum lagi soal keterbukaan dan keberpihakan Provinsi Aceh hari ini dalam mengelola SDA di wilayah ALA? Ada pertambangan di Aceh Tengah, ada bentang sawit bak samudera di Tamiang? Ada uranium sepanjang Aceh Teggara-Gayo Lues, ada cadangan minyak di kawasan Aceh Singkil, belum lagi potensi alam di Bener Meriah.
Jika dibuat efek pantulan cermin, potensi, bahkan tidak layak disebut potensi karena sebagian besar SDA di kawasan ALA tersebut sudah berada dalam tahapan operasi, bahkan eksplorasi. Perhatikan SDA-nya, perhatihan pula nasib masyarakat setempat? Perhatikan pula insfrastrukturnya? Jika ditarik benang merahnya, masyarakat di kawasan ALA adalah korban pemiskinan dan kesenjangan sosial yang disengaja akibat kekayaan alam yang melekat padanya.
Kini, saat membahas ekonomi karbon untuk kawasan ALA, masyarakat, bahkan generasi yang terdidik di ALA tidak memili informasi akurat tentang itu, mereka tidak mengetahui memulainya dari mana. Yang mereka bisa justru menonton dan mendengar bahwa daerah-daerah seperti Sumsel dan provisi lainnya di Sumatera sedang mengincar ekonomi karbon untuk pembiayaan menutupi kerusakan lingkungan dan ekonomi di daerah mereka. Belum lagi sejumlah negara di dunia juga sedang mengincar pasar karbon.
Lantas bagaimana masyarakat di kawasan ALA, selain hanya menonton provisi lain berebut NEK, mereka juga berlangganan dengan bencana banjir dan longsor sebagai akibat pembalakan liar di hutan dan tamaknya birokrasi yang bermain mata. Belum lagi soal harimau atau gajah turun di pemukiman warga. Artinya masyarakat ALA marak terkena getahnya dari pada buah segarnya.
Yang ingin disampaikan dalam kajian ini adalah jangankan memberi edukasi terkait tatakelola SDA untuk kesejahteraan masyarakat ALA, generasi mudanya pun tidak memiliki memori yang cukup untuk menangkap bahwa skema ALA adalah peluang untuk memajukan masyarakat di kawasan ALA tanpa merendahkan Provinsi Aceh. Meskipun hal ini tersedat soal bagi-bagi kue kekuasaan antar elite di Aceh saja. Intiya, Kue elite tersendat, masyarkat seluruh Aceh semakin melarat.
Langkah terendah yang dapat dilakukan untuk mencapai pemerataan ekonomi dan kesejahteraan di seluruh masyarakat Aceh adalah dengan terus menyalakan informasi ekonomi politik berbasis ALA dalam mengisi memori penalaran generasi muda di seluruh Aceh, terutama bagi generasi muda di kawasan ALA. Tentu generasi muda tidak boleh dibiarkan mengalami kekosongan memori terkait ALA dan multiplayer efek ekonomi yang berada di dalamnya. Generasi muda mesti terus diselamatkan dengan terus dicerahkan dengan narasi dan gagasan yang cemerlang. Mekipun gerakan pembodohan kepada generasi muda terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu.
Memang, menumbuhkan kesadaran terkait ekonomi politik dan pembangunan kepada masyarakat dan generasi muda sungguh besar tantangannya, terlebih lagi lembaga pendidikan tinggi di kawasan Aceh Tenggara tidak secuilpun sedang mengarah ke sana. Yang jelas, api semangat mencerdaskan kehidupan bangsa berbasis ALA tidak boleh padam, terlebih lagi padam di masa depan akibat memori generasi mudanya yang kosong dan dirancang untuk latah menjebak diri di jalan politik partisan yang sifatnya hanya sesaat.
Leave a Review