Oleh: Syarifuddin Abe
Hal yang paling sulit untuk dijawab terhadap orang awam adalah tentang “Tuhan dan humor”. Kebanyakan orang, menolak kalau Tuhan dikaitkan dengan humor. Jangankan dikait dengan humor, anda bilang anda bicara atau bertemu Tuhan saja, bias-bisa anda dianggap gila. Mereka mengakui dan menyembah Tuhan, tapi mereka keberatan kalau ada yang mengaku bertemu Tuhan. Bagi mereka, Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin dijangkau dengan mata-kepala oleh siapa saja. Tuhan ada, tapi bertemu dengan Tuhan adalah sesuatu yang mustahil. Kata orang sufi, bagaimana menyembah Tuhan, kalau bertemu saja susah?
Apakah Tuhan juga punya sisi humor? Di sinilah masalahnya, salah kita jelaskan, untung-untungan dianggap ‘salah’, kalau tidak dituduh ‘sesat’. Karena ada juga ustaz yang dalam ceramah dan pidatonya, apabila tidak menyesatkan orang yang dianggap berbeda dengannya, merasa ceramah dan pidatonya tidak berbobot, tidak menarik, tidak bergairah, bahkan akan hilang selera makannya. Kalau bicara tentang agama, semua harus sesuai dengan yang ia maksud. Berbeda, akan menjadi masalah. Padahal, tanpa kita sadari, satu-satunya manusia di dunia yang berani melihat Tuhan dengan humor adalah para sufi. Bagi para sufi, berdoa pun terkadang seperti orang bercanda, Tuhan dirayu-rayunya.
Apakah Tuhan memiliki selera humor? Tentu, Tuhan juga memiliki selera humor. Kenapa takut mengakui? Kalau tidak, untuk apa Tuhan menciptakan kata “humor”? Hanya saja, kebanyakan orang tidak mampu memahami humor-humor yang telah Tuhan ciptakan. Mereka tidak mampu tertawa dengan humor yang Tuhan hadirkan. Humor tertinggi yang pernah ada di dunia adalah humornya Tuhan. Kisah-kisah yang Tuhan hadirkan dipermukaan bumi ini, sebagiannya adalah untuk kita renungkan dan sebagian lainnya menjadikan kita berpikir. Di akhir kisah-kisah itu semua, menjadikan kita tersenyum dan tertawa.
Kita mungkin takut berpikir, kalau Tuhan juga memiliki rasa humor. Hanya karena kita sering mendengar “Tuhan marah”, “Tuhan murka”, “Tuhan mengutuk”, “Tuhan menghukum”, “Tuhan menempatkan di neraka…”, misalnya. Kita terlalu sering mendengar ceramah tentang Tuhan mengazab suatu kaum, Tuhan akan menghukum orang yang berbuat maksiat, dan sebagainya. Akibatnya, kita menjadi takut menganggap Tuhan memiliki humor. Kita menganggap Tuhan anti humor. Tidak mungkin Tuhan memiliki rasa humor. Tidak mungkin Tuhan tertawa. Yang ada dalam pikiran kita, Tuhan selalu serius, Tuhan membenci orang suka tertawa. Dunia ini kok tegang begitu, tertawa saja bisa menjadi menakutkan. Hanya karena kita tertawa, lalu Tuhan marah?
Kita tahu, Tuhan menciptakan syurga dan neraka. Kalau Tuhan hanya marah melulu, berarti tidak ada bau syurganya. Bukankah syurga itu dekat dengan kebahagiaan dan kesenangan? Salah satu media bahagia dan senang itu kalau tidak senyum ya tertawa. Kita selalu mendambakan syurga Tuhan, tapi kita tidak pernah tersenyum dan tertawa? Tegang melulu? Air mukanya cemberut aja? Oleh karenanya, Tuhan pasti tersenyum dan tertawa melihat hamba-Nya banyak mencintai syurga, tapi dalam hidupnya tidak pernah gembira? Termasuk Tuhan akan tertawa, melihat ada ustaz yang tinggi ilmu agamanya, tapi masih suka maksiat. Tuhan juga akan tertawa melihat banyak pejabat yang gemar korupsi, padahal mereka sendiri yang menganjurkan orang lain untuk tidak korupsi.
Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatunya sia-sia. Semua yang Tuhan ciptakan ada kebergunaannya. Kalau tidak, mana mungkin Nabi Muhammad berkata, “mubazzir adalah sahabatnya syetan”. Maka kata “humor” juga ada kebergunaannya. “Humor” bukanlah kata mubazzir yang telah Tuhan ciptakan. Anda membenci humor berarti anda juga membenci Tuhan. Persoalan anda suka-tidak suka, tidak perlu anda membenci orang yang suka humor. Anda tidak suka humor, itu hak anda. Tapi anda tidak memiliki hak untuk membenci orang yang suka humor, termasuk tidak punya hak untuk merendahkan orang yang sukar humor? Lagi pula, Tuhan juga tidak memberikan ilmu tentang memahami humor kepada semua orang. Boleh saja humor merupakan rahasia Tuhan yang diperuntukkan kepada orang-orang yang memiliki kemampuan atau keluasan ilmunya, sehingga senyum dan tertawanya tidak berunsur merendahkan.
Betapa banyak di dunia ini, ada orang yang merasa dekat dengan Tuhan, berapa banyak orang disekeliling kita yang merasa ‘tinggi’ dengan ilmunya, lalu menganggap remeh kepada orang lain dengan senyum dan tawa yang merendahkan? Kita menjadi aneh, ketika kita merasa tinggi ilmu agama, tapi dengan ketinggian ilmu agama kita itu, merendahkan orang lain. Apalagi dengan penuh angkuh kita menuduh orang lain ahli neraka, hanya karena kita tidak pernah melihat orang itu sembahyang? Ketika orang tidak memiliki rasa humor dan tidak mampu memahami humor serta merendahkan humor, orang ini tidak akan mampu memahami rahasia Tuhan yang memiliki unsur-unsur humor.
Kalau kita percaya bahwa Tuhan adalah pencipta kita, rasa tunduk dan patuh kepada-Nya jangan kita campur dengan keinginan kita. Kalau kita berkeinginan semua yang betul seperti “menurut kita”, lalu bagaimana yang betul menurut Tuhan? Kalau kita beranggapan yang benar berdasarkan yang kita maksud, lalu bagaimana maksud Tuhan? Kalau demikian adanya, siapa sebenarnya Tuhan? Kita atau Tuhan itu sendiri? Kita jangan merendahkan keputusan dan yang Tuhan cipta, hanya gara-gara kita tidak memiliki kemampuan ilmu untuk memahami apa yang sudah Tuhan putuskan? Pada sisi ini saja kita sudah pusing, bagaimana lagi memikirkan humornya Tuhan? Sesuatu yang diluar kemampuan kita, hendaknya jangan egois dalam memahaminya? Jangan seolah-olah Tuhan pasti setuju seperti yang kita maksud, padahal dekat saja dengan Tuhan masih diragukan?
Kalau kita sadar, kita akan menganggap bahwa humor itu sebagai sebuah anugerah dari Tuhan, percaya atau tidak, rasa humor itu tidak Tuhan peruntukkan kepada sembarang orang. Humor identik dengan kejeniusan seseorang. Semakin tinggi rasa humor seseorang, semakin jenius orang itu. Maka humor merupakan cara Tuhan yang diperuntukkan kepada manusia dalam menerjemahkan makna kebahagiaan dan kesenangannya. Tuhan merupakan pencipta terbaik dengan menyisipkan humor-humor lewat pencitaan-Nya.
Kalau hanya memahami ayat-ayat Tuhan sebagaimana yang dibaca dan dipahami, tidak akan pernah mampu untuk tertawa dan tersenyum dari apa yang sudah Tuhan peruntukkan melalui humor-humor Tuhan. Makanya tidak perlu alergi mendengar kata ‘humor Tuhan’, juga tidak perlu takut dan gelisah hanya menganggap Tuhan memiliki humor? Humor-humor yang Tuhan peruntukkan adalah untuk mengukur sejauh mana kemampuan manusia dalam memahami serta merenungkan ciptaan-Nya. Tuhan Maha Pengasih dan Maha Penyayang saja, ada nilai-nilai humor di situ, tergantung bagaimana anda menangkap humor pada pemaknaan ayat tersebut. Humor Tuhan adalah humor yang manusia sendiri di luar batas-batas kemampuan dalam memahaminya. Karena kesucian Tuhan tiada tara, maka kita tidak berani berpikir dan menterjemahkan; bahwa Tuhan juga memiliki rasa humor. Rasa humor terbaik adalah rasa humornya Tuhan itu sendiri.
Bagi sebagian orang, persoalan seperti ini dianggap sesuatu yang aneh. Terlalu mengada-ada, terlalu berani. Mungkin juga akan dianggap musyrik. Jangankan untuk memahami humor yang Tuhan berikan, memahami Tuhan saja terkadang juga membuat kita bingung. Kita selalu berkoar-koar menyembah Tuhan, ketika ditanya Tuhan yang mana? Itu juga tidak dapat dijelaskan. Paling akan dijawab, “Tuhan yang mencipkan langit dan bumi ini”. Ada yang beranggapan bahwa Tuhan merupakan persona yang menakutkan, yang suka mengancam manusia dengan neraka dan siksaannya. Seharusnya, Tuhan tidak sebagai sosok yang menakutkan, melainkan yang dirindukan dan yang dicintai. Bahkan menjadi yang diidam-idamkan. Lucunya lagi, kita pingin masuk syurga Tuhan, tapi menyebut nama-Nya saja tidak mau, takut. Kita takut masuk neraka, tapi mengamalkan nama Tuhan juga takut. Gimana ini? Jangan-jangan, mendengar nama Tuhan saja, kepanasan sendiri?
Makanya, kalau ada yang berkata, “Tuhan dapat dijumpai kapan dan di mana saja”. Atau ada yang berkata, “kalau nabi dan rasul dapat menjumpai Tuhan, ketika gelombang atau vibrasi manusia bertemu dengan gelombang dan vibrasi Tuhan, tentu saja manusia akan dapat bertemu dan berjumpa dengan Tuhan”. Toh, Tuhan bukan sesuatu yang harus ditakuti dan dijauhi. Tuhan itu harus didekati. Terus ada yang bertanya dalam kebingungannya, “hebat, rupanya saat ini, ada orang yang bisa bertemu dengan Tuhan?”. Loh, kalau ada orang dapat bertemu Tuhan kok bingung? Aneh itu? Padahal yang berkata demikian adalah ustaz, foto-fotonya kebanyakan di depan dan dalam masjid. Ke mana-mana selalu memakai songkok, termasuk gaya berpakaiannya, gaya ustaz gitu. Pada persoalan seperti ini, masih kebingungan? Siapa saja yang memenuhi syarat dan memahami jalan Tuhan, pasti dapat bertemu dengan Tuhan. Kenapa mesti takut dan bingung? Kalau Tuhan tidak dapat kita jumpai, untuk apa juga kita menyembah-Nya? Intinya, siapa saja boleh kok bertemu Tuhan, asal tahu jalan dan memenuhi syaratnya? Bukankah Tuhan sedekat urat leher manusia?
Banyak kisah para Nabi dan Rasul itu memiliki rasa humor. Ketika Adam di surga, Tuhan mempersilahkan Adam untuk memakan apa saja buah dan makanan yang ada di surga, yang telah Allah sediakan untuk Adam. Adam bebas memakan apa saja, kapan saja, tidak ada yang Tuhan larang. Tapi, ketika Tuhan menciptakan Hawa untuk menjadi teman Adam di surga, lalu Tuhan kira-kira berkata begini, “semua buah dan makanan di surga boleh kau dekati Adam, makalah sepuas-puasnya. Tapi yang itu, yang di ujung sana itu, jangan, kau dekati pun tidak boleh”. Tentu Adam hanya diam saja. Sehari dua hari, oke. Seminggu dua minggu, mungkin. Tapi akhirnya Adam dan Hawa juga Tuhan turunkan ke bumi sebagai sebuah hukuman. Adam dan Hawa telah melanggar larangan Tuhan. Kalau tidak salah, sampai empat puluh tahun baru Tuhan terima doa Adam. yang akhirnya Adam dan Hawa dapat bersatu kembali dengan mendapat keridhaan Tuhan sampai Adam dan Hawa beranak-pinak.
Selera humor Tuhan yang saya maksudkan di sini, bukan dalam bentuk Tuhan langsung bercanda dan membuat orang tertawa. Tapi selera humor Tuhan itu hadir dalam berbagai macam dan cara ciptaan-Nya. Sangat abstrak. Hanya saja, tergantung kelembutan dan rasa kehadiran Tuhan dalam diri manusia, sehingga manusia akan mampu memahami dan menangkap humor yang Tuhan hadirkan dalam kehidupan manusia. Saya teringat pesan Tuhan dalam surah an-Najm, ayat 43. “dan bahwasanya Dialah yang menjadikan orang tertawa dan menangis”. Terhadap ayat tersebut, banyak mufassir menerjemahkan, bahwa Allah yang menjadikan manusia tertawa bahkan menangis dengan menghadirkan sebab-sebabnya. Bahwa Tuhan-lah yang membuat seseorang gembira dengan membuat mereka tertawa serta membuat seseorang bersedih dan menangis, namun mereka itu yang telah Tuhan pilih berdasarkan yang Tuhan kehendaki.
Bagaimana halnya dengan manusia? Tentu, manusia adalah salah satu makhluk yang memiliki selera humor. Menyenangi humor. Menciptakan humor. Kadar humor yang dimiliki oleh setiap manusia pastinya berbeda-beda. Termasuk humor kepada orang-orang yang anti atau tidak menyukai humor. Manusia dituntut memiliki selera humor agar manusia mampu menghadapi segala sesuatu hal dengan tenang dan rasa gembira. Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Oleh karenanya, orang yang memiliki rasa humor yang tinggi akan menganggap semua masalah pasti dapat diselesaikan. Semua masalah akan dapat diselesaikan pada waktunya.
Saya teringat pada sebuah diskusi tentang Moderasi Beragama, pada 2-3 Mei 2023 di Padang Bulan, Medan, yang menghadirkan budayawan Ahmad Sobary. Di situ, Kang Sobary mengatakan bahwa Indonesia ini sudah sejak lama masyarakatnya moderat, tapi karena terjadi perubahan sosial dan intervensi dari institusi agama lalu menjadi meresahkan, maka untuk melawannya, masyarakat harus ada gerakan sinting di tengah-tengah mereka. Oleh karenanya, bagi Kang Sobary, Tuhan juga menyukai humor, berbagai keruwetan dan hal-hal yang menyesakkan dada, maka dalam beragama kita jangan sampai kehilangan senyum.
Kepada umat beragama, humor adalah satu-satunya jalan keluar ketika persoalan-persoalan keagamaan terbentur oleh hal-hal yang kurang waras. Menurut Kang Sobary, beragama tidak boleh kehilangan humor, jangan terlalu kaku dan serius. Orang yang memiliki rasa humor adalah mereka yang memiliki iman yang militan. Hidup ini seperti sebuah skenario, perlu menyertai Tuhan dalam setiap kesempatan, karena Tuhan-lah sutradaranya. Apa saja yang diinginkan manusia, Tuhan yang memberinya. Apa yang diminta manusia, Tuhan yang mengabulkan. Maka mengembaralah, Tuhan pasti ada di segala waktu dan tempat. Inilah menurut Kang Sobary yang disebut dengan iman yang militan.
Manusia itu punya akal dan hati. Akal memiliki keterbatasan. Beragama banyak mengedepankan akal, akan buntu proses-proses beragama. Akan suka meragukan dan akan saling menyalahkan. Akan mandeg, karena sedikit bertentangan dengan akal akan stagnan. Namun hati memiliki keluasan rasa yang tak terbatas. Menurut psikologi sufi, hati di sini tidak dalam arti fisik, melainkan sebagai spiritual, hati memiliki kecerdasan serta kearifan yang sangat mendalam. Hati itu tempat makrifat, memiliki kecerdasan yang dalam, bahkan lebih dasar dari kecerdasan abstrak yang ada pada otak. Hati itu pusat spiritual yang menjadi sumber cahaya bagi batin. Peranan hati sangat penting pada diri seseorang, sentral bagi anggota badan, hatilah yang menentukan baik-buruk semua amalan yang dilakukan. Memanggil manusia mesti dengan mulut, tapi memanggil Tuhan mesti dengan hati.
Adapun keutamaan dari hati, Nabi Muhammad Saw., menyebutkan bahwa, “Sesungguhnya, di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika ia sehat, maka seluruh tubuh akan sehat, dan jika ia sakit, seluruh tubuh akan sakit. Itulah yang disebut hati”. Demikian juga, seorang guru sufi berkata, “ucapan yang lahir dari hati, akan masuk dalam hati. Sedangkan ucapan yang lahir dari lisan, ia hanya melewati pendengaran saja”. Hati sangat berkecenderungan kepada Tuhan dan hanya kenikmatan dari dalam Tuhan yang ia cari dan hati selalu bereaksi pada setiap pikiran dan tindakan. Bagi para Sufi, hati adalah asal dari setiap tindakan yang baik, sedangkan perkataan dan tindakan yang buruk akan memperkeras hati.
Setiap kita pasti memerlukan humor. Untuk dapat memahami cara kerja Tuhan, kita harus melihatnya pada sisi cara kerja Tuhan, bukan dari sisi kerja kita. Tidak mungkin cara kerja kita membandingkan dengan cara kerja Tuhan. Demikian juga dengan humor Tuhan, kita harus mampu memahami bagaimana Tuhan memperuntukkan humor agar kita dapat tertawa dalam batas-batas Tuhan inginkan. Masak kita sebagai hamba berani meragukan humor yang Tuhan peruntukkan? Karena Tuhan memiliki rasa Humor, itu artinya setiap kita tertawa dalam lingkup humor Tuhan, tertawa itu tentu ada unsur Tuhan di dalamnya. Makanya, kalau humor memiliki unsur Tuhan itu artinya tidak dapat disamakan dengan humor yang manusia hadirkan. Jalan yang terindah adalah humor manusia harus mampu mengikuti humornya Tuhan.
Ketika doa yang anda panjatkan kepada Tuhan, tapi tidak ada tanda-tanda diterima oleh Tuhan, itu bukan berarti Tuhan menolak doa anda. Namun dibalik itu semua, selalu ada maksud Tuhan yang tersembunyi. Kita perlu membuka hati, lalu melihatnya dengan cara Tuhan. Tidak semua yang kita anggap buruk itu berarti sesuatu akhir dari segalanya. Di sinilah anda harus mampu memandangnya sebagai sebuah humor Tuhan. Apalagi Tuhan memiliki cara-Nya tersendiri untuk mengajak hamba-Nya tersenyum dan tertawa. Maka kita harus mampu tersenyum dan tertawa ketika berada di tengah sebuah kesulitan yang Tuhan peruntukkan. Humornya apa? Bersangka baik kepada Tuhan, merupakan humor tertinggi dari Tuhan. Wallahu’aklam bisshawab.
Leave a Review