Rohingya

Foto: Yunidar Z.A

Oleh Yunidar Z.A (Wakil Sekretaris Jenderal Pengurus Nasional Ikatan Pekerja Sosial Masyarakat)

 

Isu pengungsi Rohingya telah menjadi perhatian utama dalam konteks kemanusiaan global. Namun, di Aceh, isu ini menyoroti tantangan yang lebih dalam terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan dan peradaban masyarakat Aceh kontemporer.

Aceh, yang dikenal karena peradabannya yang tinggi dalam sejarahnya, kini dihadapkan pada paradoks di mana rendahnya rasa kemanusiaan terhadap pengungsi Rohingya mencerminkan pergeseran nilai-nilai sosial. Masyarakat yang hidup dalam globalisasi murni, dihantui oleh ketidakmampuan untuk merespons penderitaan manusia dengan empati dan toleransi.

Pengungsi Rohingya, yang melarikan diri dari konflik dan kekerasan di Myanmar, menemui tantangan baru di Aceh. Meskipun berharap untuk menemukan perlindungan dan kemanusiaan, mereka masih dihadapkan pada ketakutan dan ketidakpastian terkait penerimaan oleh masyarakat setempat.

Reaksi terhadap kehadiran pengungsi Rohingya mencerminkan tidak hanya kurangnya pemahaman dan pengalaman dalam menangani masalah tersebut, tetapi juga terpengaruh oleh stereotip negatif yang tidak adil.

Tuduhan bahwa pengungsi “mengambil pekerjaan” atau merupakan “ancaman bagi budaya lokal” merupakan contoh dari stereotip yang merugikan, yang seharusnya tidak menjadi dasar untuk tindakan pengusiran atau kekerasan.

Penting untuk memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi dalam mengatasi tantangan ini. Perubahan pola pikir dan transformasi masyarakat diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan damai. Pengalaman masa lalu Aceh, baik dalam konflik bersenjata maupun bencana alam, seharusnya menjadi pelajaran berharga dalam membangun empati dan solidaritas.

Selain itu, peran organisasi multilateral seperti Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) dalam mempromosikan perdamaian dan kemanusiaan tidak boleh dipandang sebelah mata. Namun, perlu diakui bahwa dominasi kepentingan tertentu dalam praktiknya telah menyimpang dari tujuan aslinya. Oleh karena itu, penting untuk mengupayakan kembali peran PBB sebagai pelindung dan penyokong perdamaian dunia.

Dalam konteks nasional dan lokal, kita harus berkomitmen untuk membangun kembali keretakan sosial, memperkuat nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi, serta menghilangkan stereotip dan kebencian berlebihan. Hanya dengan demikian kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih sejahtera dan harmonis, serta memperjuangkan perdamaian global yang sejati.

Akhirnya, saat kita berusaha untuk mempromosikan perdamaian dan mengatasi kekerasan, kita juga harus mendorong pertumbuhan naluri baru toleransi budaya dan saling pengertian. Hanya dengan demikian dunia yang civilized berperadaban sejati dapat terwujud. Semoga.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi