Problematika dan Imajinasi Pembangunan Indonesia

Foto: Abdurrahman Harits, Mahasiswa Magister Ilmu Perencanaan Wilayah IPB.

Oleh Abdurrahman Harits, Mahasiswa Magister Ilmu Perencanaan Wilayah IPB

Bonus demografi dipandang sebagai kesempatan emas bagi suatu negara untuk mengalami eskalasi pertumbuhan ekonomi yang masif. Hal ini disebabkan oleh dominasi penduduk  usia produktif (15-65 tahun). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjelaskan bahwa pada Juni 2022, Indonesia memiliki 275,36 juta penduduk dengan 69,3% berada di usia produktif. Adapun puncak era bonus demografi di Indonesia diperkirakan terjadi dalam rentang waktu tahun 2020-2030.

Peningkatan jumlah penduduk di usia produktif menempatkan dependency ratio suatu negara menurun. Hal ini dikarenakan semakin sedikitinya generasi di luar usia produktif yang hidup dan menjadi tanggungan generasi produktif (Window of Oppotunity). Oleh sebab itu, apabila era bonus demografi tidak dimanfaatkan dengan baik, maka sebuah negara akan kesulitan dalam menghadapi era Ageing Population di kemudian hari (Heryanah, 2015).

Tajuk ”Indonesia Emas” yang seringkali digaungkan pemerintah menjadi diksi harapan yang sedang dituju oleh Indonesia dalam memanfaatkan bonus demografi dan kekataan sumberdaya alam. Pemanfaatan bonus demografi tentunya membutuhkan sumberdaya alam yang berkualitas. Namun di sisi lain, Indonesia pemerataan akses pendidikan di Indonesia juga belum merata. Hal ini dijelaskan oleh BPS (2023) yang menyatakan bahwa baru 66 persen masyarakat indonesia yang menyelesaikan pendidikan di tingkat SMA/ Sederajat di usia 19-21 tahun. Oleh sebab itu, hal-hal terkait akses pendidikan dan keterampilan perlu diperhatikan lebih lanjut untuk menghadirkan penghidupan, pekerjaan dan pengelolaan sumberdaya alam yang layak pada momentum bonus demografi.

Paradoks Bonus Demografi dan Kelangkaan Beras

Fenomena kenaikan harga beras dalam beberapa waktu terakhir tentunya menghadirkan ironi. Hal ini sangat disayangkan mengingat pada dasarnya masyarakat Indonesia merupakan masyarakat agraris, memiliki kekayaan sumbedaya alam, iklim tropis serta ditunjang oleh budaya untuk menghadirkan kemandirian hidup hingga tingkat keluarga.

Dalam konteks Indonesia, kekayaan sumberdaya alam tidak selalu menghadirkan kebermanfaatan, namun secara bersamaan juga dapat menghadirkan kutukan (Rahma et al., 2021). Bahkan, hingga aktivitas pariwisata pun dapat menjadi kutukan bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat (Kinseng et al., 2018).  Hal ini dapat dilihat dari kelangkaan beras di berbagai wilayah yang menyebabkan harga naik bahkan di Wakatobi, Sulawesi Tenggara mendekati harga 1 juta rupiah per karung. Padahal wilayah tersebut merupakan salah satu wilayah yang diharapkan untuk mendapatkan multiplier pertumbuhan ekonomi yang berasal dari sektor pariwisata.

Berbagai isu yang diperbincangkan di ruang publik menghadirkan beberapa isu yang layak untuk diperbincangkan. Masifnya kebijakan bantuan sosial menjelang pemilu bisa saja menimbulkan supply shock pada pasar beras retail. Lebih lanjut, ketersediaan lahan per kapita yang menyediakan kebutuhan konsumsi 276 juta penduduk Indonesia dengan 1,9 juta kilometer persegi datarannya juga masih menjadi masalah. Food and Agricultural Organization (FAO) mencatat bahwa luas lahan pangan Indonesia masih berada di bawah standar negara agraris, yaitu seluas  yang umumnya memiliki luas lahan pangan per kapita seluas .  Dengan kondisi tersebut, Indonesia jauh tertinggal dari Vietnam , Cina , India , Thailand , hingga Thailand . Maka dari itu, status Indonesia sebagai negara agraris masih dapat diperdebatkan.

Dari sisi demand, pertumbuhan penduduk yang terus bertambah serta masifnya aktivitas konsumsi menjelang bulan suci ramadhan juga akan mempengaruhi pasar. Untuk itu, perbaikan ekosistem perekonomian harus dibenahi. Distribusi pengelolaan sumberdaya alam harus diptimalkan mengingat banyaknya petani gurem dengan lahan kecil yang menopang 270 juta penduduk Indonesia. Kelangkaan beras setidaknya cukup menjadi teguran terakhir, jangan sampai menjadi kutukan yang berkelanjutan.

Urbanisasi dan Ketimpangan Pedesaan

Aktivitas pertanian yang menopang hidup masyarakat selalu berada di pedesaan. Oleh sebab itu, memperbaiki aktivitas pertanian yang menopang hidup masyarakat juga selalu berkaitan dengan perbaikan kehidupan pedesaan (Sjaf, 2019). Di sisi lain, Bappenas memprediksi bahwasannya hingga Tahun 2045, 70 persen penduduk Indonesia akan berada di kota dengan harapan untuk mendapatkan efek langsung dari pertumbuhan ekonomi di kota yang lebih maju.

Mencermati dua kondisi tersebut, dapat dipahami bahwa selain menghadirkan pengelolaan kota yang baik, pengelolaan pembangunan desa yang baik dan merata juga menjadi faktor kunci dalam menghadapi bonus demografi. Smeru Research (2018) menjelaskan bahwa kontribusi sektor pertanian di desa terus menurun yang kemudian perhitungan-perhitungan makroekonomi juga menunjukkan bahwa disamping transfer dana pembangunan pedesaan dari pemerintah pusat yang meningkat, ketimpangan juga terjadi hingga level desa (Apriandi, 2024). Urbanisasi tidak dapat disalahkan, namun pembangunan desa yang mendorong pemerataan ekonomi serta menunjang keberlangsungan hidup generasi berikutnya harus dilaksanakan dengan serius.

Kesenjangan Antar Wilayah dan Dualitas Pembangunan Ekonomi

Implementasi otonomi daerah seringkali berjalan beriringan dengan desentralisasi korupsi (Sommaligustiana, 2019). KPK bahkan mencatat setidaknya 176 pejabat daerah (22 gubernur dan 154 walikota/bupati) serta 310 anggota DPRD terjerat kasus korupsi pada rentang waktu 2004-2022.  Dalam sudut pandang ekonomi, dapat diketahui bahwa rangkaian kebijakan pemerataan masih terdapat kesenjangan antar wilayah. Padahal, perhatian untuk melaksanakan desentralisasi kebijakan sudah mencapai unit pemerintahan terkecil di desa seiring dengan ratifikasi UU desa (Apriandi, 2024).

Sebagai wilayah yang dipandang lebih maju secara ekonomi, wilayah jawa justru mengalami peningkatan rasio gini yang tinggi. Oleh sebab itu, Naskah yang ditulis Sajogyo (1973) bertajuk ”modernization without development in rural java” dirasa masih relevan untuk diperbincangkan. Lebih lanjut, ulasan Sadli (2008) tentang pemikiran ekonomi dualistik Prof. Boeke yang menjelaskan keadaan perekonomian masyarakat yang bersifat superior dan inferior secara berdampingan  juga dapat mencerminkan kondisi kesenjangan antar wilayah di Indonesia.

Berangkat dari kondisi tersebut, kesenjangan tidak dapat dilihat hanya sebagai suatu fenomena sosial yang merepresentasikan suatu tatanan sosial. Namun diposisikan sebagai “social system” yang dapat dianalisa dan direkayasa sebagaimana sumberdaya dan regulasi (Giddens, 1995). Dengan demikian, kondisi dualitas pembangunan selalu berkaitan dan dengan aktor-aktor yang dapat mendominasi secara struktural (Kinseng, 2017). Perbaikan konsep, perencanaan pembangunan hingga peran aktor-aktor dalam pembangunan baik pihak pemerintah, swasta maupun masyarakat sipil yang saling berkaitan satu sama lain harus dilaksanakan.

Data Desa Presisi, Sebuah Inovasi Perencanaan Pembangunan

Hambatan terbesar dari pembangunan adalah perhitungan yang didasarkan pada indikator-indikator semu, kemudian menghasilkan pembangunan yang bersifat semu (Sjaf, 2021). Wrihantono dan Dwijowijoto (2006) juga menjelaskan bahwa inefisiensi pembangunan di Indonesia seringkali hadir berdasarkan kepentingan dan keputusan politik. Bahkan, pembangunan wilayah seringkali menjadi ”Wisata Pembangunan” yang berbasis pada permainan angka dan indikator (Chambers, 2004; Mahbub Ul Haq, 1995).

Simpang siur ide pembangunan hingga hari ini belum didasarkan pada suatu basis data yang akurat. Sebutlah pemberian bansos, pemanfaatan dana desa yang seringkali tidak tepat sasaran. Belum lagi, masih banyak terdapat konflik agraria di seluruh pelosok Indonesia yang mengganggu livelihood asset masyarakat. Maka dari itu, Inovasi Data Desa Presisi (DDP) yang digagas oleh Dr. Sofyan Sjaf berusaha untuk memaksimalkan kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan big data sebagai dasar dari kebijakan pembangunan.

DDP merupakan metode pendataan partisipatif dengan akurasi tinggi yang menggambarkan kondisi aktual desa (Sjaf et al., 2022). Data Desa Presisi menyediakan 228 parameter data sosial dan 84 parameter spasial yang terintegrasi sehingga kebijakan yang akurat dapat hadir secara BNBA (By Name, By Adress, By Coordinate). Pembangunan data dasar yang akurat ini tidak hanya diharapkan untuk mengoptimalkan kebijakan publik, namun lebih dari itu kedaulatan atas data bagi seluruh masyarakat tanpa terkecuali yang menjamin hadirnya pembangunan partisipatif.

Analisa yang dihasilkan dengan data DDP dapat melihat lebih dekat realitas sosial-ekonomi masyarakat. Apriandi (2024) menjelaskan bahwa terdapat perbedaan hasil perhitungan rasio gini di tingkat desa yang dipublikasikan BPS tahun 2023 adalah 0,313 (ketimpangan rendah). Sementara itu, ,hasil perhitungan yang dilakukan berbasis DDP menunjukkan variasi angka ketimpangan hingga tingkat desa yang bervariasi dari mulaipada rentang 0,40 – 0,50 (ketimpangan sedang) hingga di atas 0,50 (ketimpangan tinggi). Variasi ketimpangan sedang berada di desa-desa di Pulau Sulawesi (0,48). Sementara, derajat ketimpangan tinggi berada di desa-desa di Pulau Kalimantan (0,71), Bali dan Nusa Tenggara (0,67), Sumatera (0,59), dan Jawa (0,53) (Sjaf, 2023).

Imajinasi Pembangunan

Berkaca pada berbagai problema tersebut. Dapat disadari setidaknya terdapat dua hal yang dihadapi oleh generasi muda di Indonesia. Pertama, generasi muda menghadapi persaingan pasar tenaga kerja dan sumbedaya alam yang difokuskan pada percepatan pembangunan ekonomi dengan eksploitasi sumberdaya alam secara masif sebagai konsekuensi. Kedua, masifnya diskursus hingga perjanjian internasional yang mendorong penyelenggaraan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan juga menempatkan aktivitas ekonomi dan bisnis pada biaya yang lebih tinggi dengan pertimbangan penggunaan teknologi ramah lingkungan hingga kebijakan carbon trade yang dapat membebani aktivitas ekonomi dengan pajak lingkungan.

Seiring dengan dinamisnya perubahan perundang-undangan belakangan ini, maka sejatinya generasi muda mendapatkan kemewahan dalam berimajinasi tentang tata kelola pemerintahan baik pada berbagai pilihan kebijakan antara pembangunan fisik dan non-fisik, pembangunan desa atau kota, Infrastruktur atau pertanian, dana bantuan operasional sekolah atau makan siang gratis, hingga pada imajinasi bernegara dengan konsep negara kesatuan atau federal. Tentunya dengan memanfaatkan basis data yang akurat dalam berimajinasi, juga landasan dalam pengambilan kebijakan politik di kemudian hari, meski berangkat dari keadaan yang problematik.