Pemimpin Bodoh & Penipu di Aceh

Oleh Zulfata, Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com

Menguatnya praktik politik pemburu rente secara langsung merubah pola transformasi kepemimpinan pemerintah di Aceh. Jika dicermati pemimpin pemerintah, dalam hal ini adalah gubernur Aceh, dapat ditemukan bahwa para Gubernur Aceh dahulunya indentik dengan cendekia, religius dan punya legasi untuk peradaban nusantara. Namun demikian, makin diujung hari ini, calon gubernur justru mengarah pada citra sosok yang bodoh dan penipu.

Diakui atau tidak, politik kepemimpinan Aceh hari ini mengalami terjun bebas. Bayangkan, situasi para pelaku politik termasuk dominasi partai politik mendukung seseorang yang tidak memiliki kapabilitas. Kelompok pendukung yang sedemikian tentu dapat menjadi bom waktuk bagi pembangunan lintas sektor dalam pemerintahan Aceh ke depan.

Politik Aceh yang awalnya identik dengan politik ideologis kini berubah dan menjadi tren politik “Jakarta efek”. Pada kondisi politik sedemikian pula para pelaku politik di Aceh tanpa sadar dan merasa bangga pula mendukung calon gubernur yang bodoh dan penipu. Pertanyaannya adalah di mana rasionalitas apa yang disebut pemimpin bodoh dan penipu tersebut?

Poin pertamanya adalah, disebut bodoh karena argumentasi politik yang sering keluar dari calon pemimpin adalah tidak tepat sasaran alias tidak sesuai konteks ekonomi-kemasyarakatan. Dalam konteks ini calon pemimpin yang dimaksud justru mempertontonkan kebodohannya di hadapan pemilih Aceh yang kini sebagian mulai menampakkan kecerdasannya. Parahnya, pemimpin yang masuk dalam kategori bodoh tersebut masih dianggap berkharisma atau simbol perjuangan yag kemudian menipu amanat perjuangan “sejarah panjang” di Aceh.

Poin yang kedua, disebut penipu karena melihat rekam jejak kepemimpinanya. Tidak satu program kerakyatan pun efektif terapkan oleh pemimpin yang dimaksud, justru akibat kepemimpinannya menjadikan anak buahnya bersarang di kasus korupsi. Dalam politik balas budi; rela masuk penjara demi tuan. Berbagai gaya kampanye politiknya masa lalu justru ingin diulanginya lagi di tahun 2024. Jika diilustrasikan dalam perspektif khazanah ke-acehan, politik penipu sedemikian dengan kebodohannya sendiri justru bangga mempraktekkan apa yang disebut politik “cet langet” yang kemudian berakhir pada politik harapan palsu.

Jika pencatat sejarah Aceh kontemporer  jujur, barangkali calon pemimpin penipu ini adalah satu faktor mengapa Aceh tidak akan maju-maju hingga saat ini. Sebab sekelompok penguasa kecil masih bergantungan dengan kuasa pemimpin bodoh dan penipu. Para pengikutnya dengan segala insting politiknya tidak kuasa melawan perintah pemimpin bodoh dan penipu, sehingga sekelompok pengikut tersebut secara tidak langsung terjebak ke dalam kendali pemimpin bodoh dan penipu, yang kemudian bersatu padu membodohi rakyat Aceh atas nama perjuangan rakyat.

Jika ada pihak yang megatakan bahwa partai politik lokal di Aceh bergerak atas dasar ideologis, mungkin itu adalah pernyataan politik halusinasi. Sebab kenyataan politik hari ini mengatakan bahwa para pemimpin partai politik lokal adalah bonekanya pemimpin politik partai nasional. Jadi, dalam konteks Pemilihan Gubernur (Pilgub) Aceh 2024, ada tugas kolektif yang begitu menantang yang harus kita kerjakan, tugas kolektif tersebut adalah membebaskan rakyat Aceh dari jebakan-iklan politik dari kalangan pemimpin bodoh dan penipu.

Pertanyaan lanjutannya adalah apakah ada pemimpin cerdas, kapabel dan visioner (CKV) di Aceh hari ini? Jika pembaca menjustifikasi bahwa tidak ada pemimpin CKV di Aceh, maka paling tidak jangan menutup pintu dan pasrah menyerahkan kedaulatan rakyat Aceh kepada pemimpin yang bodoh dan penipu. Terlebih di berbagai daerah di Indonesia justru yang berkompetisi politik hari ini adalah dari kalangan yang cerdas dan visioner, meskipun eror politiknya masih ada, namun tidak seperti di Aceh eror politiknya justru semakin parah.

Jika rakyat Aceh terus-terusan disodorkan nama calon pemimpin yang bodoh dan penipu, maka apa jadinya Aceh ke depan? Soal kemenangan politik memang bukan soal bodoh dan penipu, sebab sistem politik hari ini dapat memenangkan siapapun, termasuk memenangkan pemimpin politik bodoh dan penipu, bahkan pemimpin politik “anak ingusan” dapat duduk di kursi panas dan basah.

Melalui uraian tulisan singkat ini senantiasa pembaca dapat memupuk optimismenya bahwa jangan biarkan rasionalitas politik rakyat semakin menumpul dan berkarat. Dengan memperkuat optimisme dan mempertajam rasionalitas politik rakyat, barangkali rakyat Aceh pada Pilgub 2024 dapat lulus dari jebakan calon gubernur Aceh yang bodoh dan penipu, beserta dengan pengikut setianya yang rela dipimpin oleh manusia bodoh, penipu dan tanpa pernah bertaubat demi kemaslahatan Aceh hari ini dan ke depan.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi