Oleh San San Ramdhani, Pegiat Data Desa Presisi dan Mahasiswa Pascasarjana IPB University
Prabowo dalam pidatonya diacara Political And Economic Outlook di Jakarta, “Food estate adalah keharusan. Kalau ada tokoh nasional yang mempermasalahkan food estate itu antara dia tak paham atau tak mau paham. Ini gagasan sudah dari Bung Karno bahkan Belanda. Masa depan kita sangat cerah,”Rabu (31/1/2024). Dalam upaya mencapai swasembada pangan, Indonesia telah meluncurkan berbagai program dan kebijakan untuk meningkatkan produksi pertanian. Salah satu program yang tengah menjadi sorotan adalah program “Swasembada Pangan”. Namun, seiring dengan upaya pemerintah untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa aspek yang seharusnya dipertimbangkan dalam program ini telah menimbulkan kontroversi dan tantangan.
Program ini telah menjadi pusat perdebatan karena ketidakjelasannya dalam konsep dan implementasi. Meskipun tujuan mulianya adalah untuk mencapai swasembada pangan, namun banyak kalangan menganggap program ini lebih bersifat retorika politik daripada upaya konkret untuk mengatasi masalah pangan. Susan George dalam bukunya “Pangan dari Penindasan Sampai ke Ketahanan Pangan” menganalisis mengenai produksi makanan, seperti fakta bahwa produksi pangan di dunia sangat besar, tetapi masih banyak orang yang menderita kemiskinan.
Di Indonesia, lahan sawah memainkan peran sentral dalam produksi pangan, terutama beras, yang merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, penting untuk menjaga ketersediaan lahan sawah per kapita agar dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Sedangkan pada tahun 2020, luas lahan baku sawah perkapita di Indonesia adalah sekitar 0,105 hektar per orang berbeda dengan India yang memiliki luas lahan baku sawah perkapita adalah sekitar 0,116 hektar per orang dan Thailand adalah sekitar 0,155 hektar per orang, itu artinya Indonesia memilki luas lahan sawah per kapita yang kecil dibandingkan dengan India dan Thailand.
Secara Kasuistis dicerminkan dari kondisi yang sedang dialami, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Pertanian Indonesia, produksi pangan dalam negeri telah mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2023, produksi beras nasional hanya mencapai 42 juta ton, turun sekitar 5% dibandingkan tahun sebelumnya. Selain itu adanya peningkatan impor beras hingga kenaikan harga beras yang mencekik masyarakat Indonesia. Data dari Badan Pangan Nasional (BPN) menyebutkan pada Januari 2024 akan terjadi defisit beras 1,61 juta ton dan Februari sebesar 1,22 juta ton dengan akumulasi total defisit 2,83 juta ton. Bahkan untuk tahun 2024, Presiden Joko Widodo memberikan perintah Badan Pangan Nasional (BPN) untuk menugaskan Bulog melakukan impor sebesar 2 juta ton. Kondisi tersebut yang akhirnya dirasakan berikut dengan eskalasi harga beras, oleh karena itu gagasan tentang swasembada pangan dianggap sebagai mimpi disiang bolong.
Kemunduran dan Tantangan Swasembada Pangan
Salah satu masalah utama yang dihadapi oleh program ini adalah kurangnya strategi yang terperinci dan efektif dalam memperkuat infrastruktur pertanian, meningkatkan akses petani terhadap teknologi dan pembiayaan, serta mengatasi ketimpangan distribusi pangan di berbagai wilayah di Indonesia. Selain itu, kebijakan yang tidak sinkron dengan kondisi riil pertanian Indonesia turut menjadi hambatan, seperti kurangnya dukungan untuk diversifikasi tanaman pangan dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Sementara itu ketersediaan lahan untuk perluasan sawah di Indonesia adalah 8,28 juta ha,bahkan potensi pengembangan sawah terluas terdapat di Papua, Kalimantan dan Sumatera dengan masing-masing 5,19 juta ha, 1,39 juta ha dan 0,96 juta ha. Potensi perluasan lahan sawah tersebut bertolak belakang dengan Program Strategis Nasional (PSN) alih-alih untuk meningkatkan investasi yang membutuhkan pembebasan lahan dengan luas yang tidak sedikit seperti sektor jalan dan jembatan, sektor pelabuhan, sektor bandar udara, sektor kereta, sektor pariwisata dan masih banyak sektor program strategis nasional yang mengharuskan adanya pembebasan lahan.
Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan terintegrasi yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, petani, sektor swasta, dan masyarakat sipil. Perlu adanya komitmen yang kuat untuk mengubah retorika menjadi tindakan nyata yang berkelanjutan. Misalnya dengan dukungan infrastruktur menjadi daya dorong keberhasilan seperti pembangunan 1,1 jaringan irigasi, 4.500 embung dan 29 pembangunan bendungan. Dengan produksi beras pada Tahun 2021 mencapai 31,3 juta ton angka tersebut menurun pada akhir April 2022 dengan sebaran stok di lapangan mencapai 10,2 juta ton (Sekretaris Kabinet, 2022.)
Analisis Berbasis Data Presisi
Penting bagi pemerintah untuk merevisi dan menyesuaikan program swasembada pangan agar lebih efektif dan responsif terhadap dinamika sosial, ekonomi, dan lingkungan yang ada. Hanya dengan langkah-langkah konkret dan terukur, Indonesia dapat benar-benar mencapai swasembada pangan yang berkelanjutan dan inklusif bagi seluruh rakyatnya. Diantaranya dibutuhkan sebuah gabungan teknologi dan data yang akurat untuk mengukur kebutuhan lahan serta infrastruktur apa saja yang dibutuhkan demi tercapainya swasembada pangan.
Metode untuk mengumpulkan data pada tingkat desa dengan tingkat akurasi dan presisi tinggi memberikan gambaran kondisi sebenarnya (eksisting). Metode yang mengambungkan sekumpulan metode data, termasuk menggunakan pendekatan sensus, spasial dan melibatkan warga local untuk mengumpukan data tersebut (partisipatif) (Sjaf, et. Al 2022).
Perlu dijelaskan, data tersebut berangkat dari metode pendataan Data Desa Presisi (DDP) yang men-sitesa-kan pemetaan secara spasial menggunakan perangkat drone yang menghasilkan peta ber-resolusi tinggi dan materialisasi posisi data sesuai dengan kebutuhan perluasan lahan sawah sekaligus memetakan kebutuhan infrastruktur pendukung produktivitas sawah. Dengan materialisasi data seperti demikian, maka program dan kebijakan swasembada pangan akan terarah sesuai tujuan, seperti yang diharapkan masyarakat. Pada konteks itu pula keterbatasan dalam permasalahan swasembada pangan akan terjawab dan sangat bisa dilakukan.
Oleh sebab itu, wacana untuk menjadikan Indonesia sebagai swasemabda pangan perlu dilakukan dengan beberapa catatan dengan metodologi yang tepat dan akurat, sehingga tidak hanya sebagai “Omon Omon” yang dilontarkan pada kancah kontestasi politik saja. Menutup tulisan ini, demi terciptanya masyarakat adil dan makmur, swasembada pangan sangat perlu direalisasikan, sehingga “politisitas” sebuah bangsa sedemikian besar dapat tampil menawan diranah dinamika dan kebijakan.
Leave a Review