Oleh Zulfata, Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com
Perubahan, kecemasan dan tantangan yang dihadapi generasi bangsa datang pada saat bersamaan. Kekinian, generasi tersebut digolongkan beberapa kriteria berdasarkan perilakunya yaitu generasi X, Y, Z hingga generasi Alfa. Seiring dengan itu, cara kerja perangkat algoritma (AI) terus menerpa pada kepentingan ekonomi dan politik dengan motif kemajuan zaman. Peradaban menggelinding secara bebas bahkan kejam bagi tujuan peradaban. Ketergantungan pendidikan dengan kekuasaan pun semakin pekat dan tak terelakkan di republik ini.
Lantas bagaimana menyiasati perubahan yang satu paket dengan kecemasan dan tantangan tersebut? Ditambah lagi daya laju kekuasaan dan geliat politik koncoisme semakin kental mempengaruhi medan juang mentalitas generasi hari ini. Diakui atau tidak, dengan situasi dan kondisi Indonesia hari ini (dunia saat ini) pendekan birokratisasi pendidikan melalui program pendidikan formal bahkan perguruan tinggi yang semaki lumpuh di hadapan kekuasaan, tentu fenomena ini menjadi bom waktu dalam upaya menciptakan generasi bangsa yang kreatif dan mandiri.
Hipotesanya, kondisi negara hari ini seakan memberi jawaban untuk terus memperkuat hadir dan perannya generasi kreatif dan mandiri dalam mengisi peran-peran sosial di wilayahnya masing-masing. Daya kreativitas tersebut nantinya akan mempengaruhi daya prokduktivitas generasi dalam berselancar di tengah ketimpangan sosial yang sengaja dirawat oleh tangan-tangan tak terlihat. Daya kreativitas itu pula dapat mendorong tidak terjadinya situasi sosial yang saling bergantungan dengan tarik ulur politik sesaat dan hanya berpihak bagi kalangan elite.
Kemudian, daya mandiri secara tidak langsung akan mempengaruhi kepribadian generasi yang tidak mudah lumpuh atau tumbang di hadapan kekuasan feodal lokal dan dapat membuka pintu kolaborasi seluas luasnya dengan berbagai pihak. Ada elegansi kolaborasi yang terjadi ketika generasi dapat kreatif dan mandiri di tengah kemelut bangsa hari ini.
Dari sisi pendidikan formal, memang tidak dapat diharap lebih dalam menciptakan generasi bangsa secara kreatif dan mandiri. Penyebabnya tidak sedikit, di antaranya adalah ketidakmampuan menghadirkan peserta didik yang dapat merspons dan beradaptasi dengan strategis saat beraktivitas dalam gejolak dunia nyata, dunia di mana ketimpangan sosial semakin parah. Ditambah lagi, pendidikan vokasi belum begitu menjadi tren di berbagai wilayah Indonesia dalam mengisi kekosongan peran oleh program pendidikan pemerintah. Belum lagi soal manajemen guru sekolah/dosen di seluruh tanah air yang hingga kini masih berada dalam bayang- bayang politis elektoral. Bagaimana mungkin generasi kreatif dan mandiri terlahir dari campur tangan secara politis. Sebab politis cenderung identik dengan produk instan, praktis dan orientasi keuntungan materi. Sementara itu, produk atau subjek yang kreatif dan mandiri terlahir dari proses yang matang dan beroreantasi pada kemerdekaan kerakyatan.
Sederhananya, tahapan menciptakan generasi kreatif dan mandiri tersebut mesti melalui berbagai tahapan, baik secara psikis maupun fisik. Membentuk kesadaran rasa ingin lebih tahu, cenderung ingin ters bertumbuh, serta selalu adaptif dengan perkembangan zaman dan lingkungan sekitar adalah medan juang yang mesti ditempuh untuk mendapat kemampuan kreatif dan mandiri tersebut. Belum lagi soal bagaimana memasang perangkat kreatif dan mandiri di benak generasi (X, Y, Z dan Alfa), baik dari sisi daya kritis dalam berfikir maupun dari sisi daya visioner dalam mengarungi tantangan kehidupan yang semakin komplit. Jalan tempouh ini tentunya tidak dengan generasi buta sejarah.
Terkadang, peran orang tua dan pemerintah tidak mampu sepenuhnya membendung agar generasi bangsa dapat mengarah pada proses menciptakan generasi kreatif dan mandiri. Tantangan politik lima tahunan sebagai hajatan politik di republik ini turut menjadi faktor betapa besarnya tantangan dalam menciptakan generasi kreativitas dan mandiri tersebut. Diakui atau tidak, Indonesia telah menjadi negara kekuasaan, sehingga negara kekuasaan lebih condong agar rakyatnya terus-terusan bergantungan dengan kehendak penguasa. Nyaris praktik kolonial semakin menjadi-jadi di republik ini.
Langkah konkret untuk menciptakan gerenasi kreatif dan mandiri tersebut adalah dengan terus memulainya. Program-program yang mengarah agar generasi bangsa kreatif dan mandiri mesti fokus dan berkelanjutan mesti tidak dianggap “ngetren”, tidak viral, tidak praktis dan tidak instan. Menumbuhkan daya literasi secara universal adalah kunci dalam menciptakan generasi yang kreatif dan mandiri. Bukan sebaliknya, generasi yang terperangkap dari kesadaran dan daya pikir yang dipengaruhi oleh platform video pendek dan berorientasi pada jumlah follower. Sungguh kuantitas yang dominan tidak menentukan kualitas. Sebab yang kuantitas itu mengarah pada cara kerja pasar bebas.
Artinya, meskipun program-program yang mengarah pada penguatan kreativitas dan kemandirian generasi tidak begitu ramai dan menggiurkan, justru dengan posisi sedemikianlah semua pihak di negeri ini penting untuk memikirkan ulang bagaimana nasib anak bangsa tanpa dibekali daya kreatif dan mandiri. Tentu suram bukan? Bisa jadi negara akan memangsa generasinya sendiri secara bertahap. Oleh karena itu, waspadalah, waspadalah.
Leave a Review