Makam Datuk Maulana Malik Ibrahim merupakan salah-satu objek wisata religi yang menjadi ikon di Kabupaten Aceh Tenggara. Objek wisata Religi ini memiliki daya tarik tersendiri selain Masjid Agung At-Taqwa yang dikelola langsung oleh Pemda (Pemerintah Daerah). Mendekati bulan suci Ramadhan, banyak masyarakat dan wisatawan yang datang untuk berziarah.
Dalam konteks ini, penulis sangat menyayangkan masih adanya praktik pungli di lokasi Makam Maulana Malik Ibrahim, serta fasilitas dan banguna yang tidak terawatt. Bangunan yang tidak terawat tersebut terlihat dari pintu masuk makam, tugu, dan papan nama di atas pintu masuk yang sudah hilang termakan usia, serta warna cat yang sudah memudar. Anak tangga bertumpukan sampah dedaunan menjadi pemandangan yang sangat tidak menarik pengunjung menuju makam.
Fasilitas ibadah juga minim seperti sajadah, yasin dan Al-Quran, kunci gerbang masuk makam juga sudah tidak layak dan membuat susah penjaga untuk membuka gerbang karena harus di pukul menggunakan benda keras baru dapat terbuka. Wisatawan yang datang akan dimintai pungutan sebesar Rp. 5000-10.000/orang oleh yang mengaku penjaga makam.
Seharusnya bangunan dan fasilitas makam harus dirawat minimal satu bulan sekali agar wisatawan dan masyarakat nyaman saat berziarah. Di sinilah peran Pemda, apakah itu misalnya di bawah wewenang Dinas Syariat Islam, atau dinas terkait lainnya. Pemda harus turun mengelola, jangan hanya terkesan fokus pada khutbah Jum’at keliling. Kebersihan makam juga seharus di kelola oleh Pemda dalam mengembangkan potensi daerah.
Jika memang diberlakukan semacam “pungutan kebersihan” oleh penjaga makam, Pemda harus memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat dan wisatawan. Tidak rasional rasanya jika tiba-tiba ada kutipan uang kepada pengunjung tanpa adanya pemberitahuan secara resmi yang diterbitkan oleh Pemda. Sehingga praktik ini nyaris berkubang dalam sarang praktik publik di makam. Sebagai objek wisata religi, Makam Datuk Maulana Malik Ibrahim terkesan masih dianaktirikan pengelolanya daripada objek wisata religi lainnya, hal ini di sebabkan karena Pemda, khususnya Dinas Pariwisata yang dapat disebut teledor bahkan tidak mampu mengelola tempat-tempat wisata yang seharusnya menjadi daya dorong posisi tawar dan brending Kabupaten Aceh Tenggara di semua daerah hingga manca negara (negara mayoritas Muslim).
Mestinya, kita harus jeli melihat dan menciptakan peluang serta potensi potensi daerah kita sendiri. Bukan sebaliknya gemar menciptakan perilaku konyol dan memalukan. Pada posisi ini semestinya dinas-dinas terkait jangan hanya fokus pada kegiatan yang monoton dan tidak berdampak bagi kesadaran prilaku masyarakat dan kreatifitas pemerintahan daerah. Pemahaman sejarah juga penting ditanamkan kepada semua lapisan, baik itu kepada masyarakat, pejabat maupun unsur lainnya. Sebab, kesadaran kolektif dari sejarah dan objek wisata religi Makam Datuk Maulana Malik Ibrahim ini bukan hanya sekedar wisata, namun ia juga merupakan semacam monumen sejarah penyebaran agama Islam di Aceh Tenggara.
Jika Pembada Aceh Tenggara tidak ambil peran dalam pengembangan dan penguatan wisata religi di Aceh Tenggara, ini akan berdampak buruk bagi stabilitas sosial-budaya di Aceh Tenggara. Ketidaksadaran dan “angap sepele” yang terjadi pada pemerintah dan krisisnya pengiat kebudayaan religi di Aceh Tenggara ini mungkin dampak dari kita yang mungkin lebih tertarik dan memaklumi praktik pungli dari pada penguatan kebijakan berbasis Islami.
Penulis adalah Muhammad Soleh, Dutawisata Aceh Tenggara Tahun 2023
Leave a Review