Zakat Produktif dalam Pandangan Islam

Oleh : Tgk Riski Nanda
Founder Fiqih Syariah

Zakat adalah salah satu cara untuk membantu kaum duafa, sehingga Badan Baitul Mal Aceh membuat satu UUPA tentang Zakat nomor 10 tahun 2018 dan di ubah menjadi qanun nomor 3 tahun 2021. Salah satu program terbarunya adalah zakat produktif yang mana tertulis dalam UUPA nomor 23 tahun 2011 pada pasal 27 ayat satu itu membahas tentang zakat produktif, zakat produktif ialah zakat yang diberikan kepada orang yang berhak menerima zakat, sehingga ia dapat memenuhi kehidupannya pada masa yang akan datang dan sehingga ia dapat mengangkat perekonomian dan ia pun akan menjadi muzakki (pemberi zakat ), namun ada sebagian orang menolak zakat produktif ini karena menganggap itu sudah di luar konteks mazhab syafii.

Nah oleh karena itu, coba kita lihat apakah benar seperti anggapan orang bahwa zakat produktif adalah sudah keluar dari mazhab syafi’i atau itu hanya dugaan belaka tanpa merujuk kepada penjelasan yang kuat. Zakat produktif adalah terobosan baru yang di program kan di aceh untuk memberantas kemiskinan dan dengan zakat metode produktif bisa membantu fakir miskin untuk membuat usaha atau pengusaha yang sudah bangkrut. Namun karena pertama kali di canangkan dan di lakukan di aceh apakah ini sesuai dengan pandangan islam dan apakah sesuai dengan mazhab yang di anut di aceh ?

Masalah mengelola zakat produktif ini telah di jelaskan dalam kitab al bayan (karya seorang ulama beliau wafat pada tahun 558 h) pada hal 425 /jilid 3/dki. Menurut beliau ini merupakan masalah khilafiyah dikalangan mazhab fuqaha. Menurut mazhab maliki : boleh diberikan kepada orang yang punya usaha jika dia miskin yang tujuannya untuk membantu usahanya. Menurut mazhab hanafi: jika pengusaha itu usaha nya tidak masuk dalam batasan hitungan nisab zakat maka boleh mengambil zakat, sedangkan menurut mazhab syafii:
Berpegang dengan hadist riwayat imam at turmizi  

(قوله صلى الله عليه و سلم : لا تحل الصدقة لغني ولا يقوي مكتسب)

Artinya; tidak boleh memberi zakat kepada orang kaya dan tidak boleh bagi orang yang masih sanggup untuk usaha.

Namun ini pendapat mazhab Syafii di teliti balik oleh imam nawawi (beliau wafat 676 h ) di dalam kitab raudhathuth thalibin pada hal 186/jilid 2/dki, dan juga dalam majmu’ syarah muhazzab hal 237/7/dki. Menurut imam nawawi : kepada pengusaha tersebut di berikan modal supaya ia membeli dengan modal tersebut dan melakukan perdagangan sehingga mencukupi baginya, dan pendapat imam nawawi ini berlandaskan dengan hadist riwayat qabishah bin mukharriq :

وَاسْتَدَلَّ لَهُ الْأَصْحَابُ بِحَدِيثِ قَبِيصَةَ بْنِ الْمُخَارِقِ الصَّحَابِيُّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى الله عليه وسلم قال ” لَا تَحِلُّ الْمَسْأَلَةُ إلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٌ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا
مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ وَرَجُلٌ اصابته فاقة حتى يقوم ثلاثة من ذوى الحجى مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ فَمَا سِوَاهُنَّ
مِنْ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتٌ يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا ” رَوَاهُ مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ وَالْقِوَامُ وَالسِّدَادُ بِكَسْرِ أَوَّلِهِمَا وَهُمَا بِمَعْنًى قَالَ أَصْحَابُنَا فَأَجَازَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَسْأَلَةَ حَتَّى يُصِيبَ مَا يَسُدُّ حَاجَتَهُ فَدَلَّ عَلَى مَا ذَكَرْنَاهُ قَالُوا وَذِكْرُ الثَّلَاثَةِ فِي الشَّهَادَةِ للاستظهار لا للاشتراط

Artinya : Dari Qobishoh Ibnu Mukhoriq al-Hilaly Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya meminta-minta tidak dihalalkan kecuali bagi salah seorang di antara tiga macam, yakni orang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian ia berhenti; orang yang tertimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup; dan orang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga tiga orang dari kaumnya yang mengetahuinya menyatakan: “Si fulan ditimpa kesengsaraan hidup.” ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain tiga hal itu, wahai Qobishoh, adalah haram dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.” (riwayat imam muslim, al humaidi, imam ahmad, ad darimi, an nasai, ibnu khuzaimah, ibnu hibban dan imam albaihaqi).

Sehingga berkata oleh ashab syafii dalam menjelaskan hadist ini : maka membolehkan oleh rasulullah akan meminta zakat sehingga menimpa perkara yang disandarkan akan hajatnya, dan mereka ashab syafii pun berkata : menyebutkan oleh rasulullah SAW 3 orang lelaki akan persaksian untuk menjelaskan bukan untuk mengisyaratkan.

Sehingga dapat di simpulkan bahwa zakat produktif ini tidak bertentang atau berlawanan dengan mazhab manapun, karena ini merupakan ijtihad para ulama melalu hadist rasulullah SAW dan jika kita lihat pada masa sekarang ijtihad pada masalah zakat produktif itu sangat cocok untuk di aplikasikan kepada masyarakat dan juga bisa menumbuhkan ekonomi masyarakat yang mana pendapatan usahanya masih di bawah upah minimum, sehingga terbantu masyarakat baik dari segi modal atau usaha yang di tawarkan oleh pihak dari baitul mal kepada orang yang berhak menerima zakat.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi