Setelah Banyak Profesor, Lalu Apa?

Ilustrasi: Kompas.id

Editorial 29 Mei 2024

Kacau-balau dunia pendidikan tinggi di Indonesia akhir-akhir ini terus menjadi sorotan. Belum selesai persoalan “profesor-profesoran” sebagai puncak status akademik dan stigma status sosial, ditambah lagi dengan persoalan rektor polisikan mahasiswanya, hingga pada persoalan komersialisasi pendidikan tinggi berbadan hukum. Secara menyeluruh, fakta yang disampaikan di atas merupakan sebuah penampakan bagaimana amanat proklamasi kemerdekaan dikangkangi oleh potret kehidupan perguruan tinggi hari ini.

Tantangan global dan pergeseran ekonomi nasional memang telah menggeser falsafah pendidikan tinggi di Indonesia. Sehingga jumlah profesor tidak berbanding lurus dengan pertumbuhannya dengan daya ledak produktivitas kepakaran dan perubahan sosial. Justru profesor sebagai ajang lomba administratif akademik dan status sosial lebih dijadikan tren dari pada tanggung jawab dalam mendorong progresifitas dalam mendobrak belengggu-pelenggu pembodohan di perguruan tinggi yang nyaris tak tersentuh oleh apapun dengan tidak menyebutnya sengaja dirawat.

Arah kekuasaan telah berhasil membuat perguruan tinggi lumpuh pada cita-cita kemerdekaan. Berdalih tantangan zaman, perguruan tinggi kini tak bedanya dengan pabrik, baik tatakelola sistem pengajarannya hingga karakter manusia-manusia di dalamnya. Muncul seolah-olah perguruan tinggi yang banyak profesornya adalah suatu pertanda ada kemajuan di dunia kampus. Tolak ukur atau indikator yang dibuat bagi kemajuan perguruan tinggi hari ini sejatinya sangat menyedihkan. Perguruan tinggi jauh lari dari kondisi kebutuhan dan kenyataan sosial masyarakat Indonesia hari ini.

Menyikapi maraknya peraih gelor profesor di Indonesia hari ini satu sisi layak diapresiasi atas pencapaian tersebut, namun demikian, di balik apresiasi tersebut jika dibedah bahwa yang meraih gelar profesor tersebut dapat dikatakan tidak begitu layak jika dihadapkan dengan tanggung jawab kepakarannya. Rata-rata, kepakaran profesor hanya mampu dibuktikan di atas kertas, jauh ke dalamnnya lagi terkait kepakaran dan daya pengabdiannya justru menjadikan para profesor tersebut menjadi bualan-bualan kaum berpengaruh di balik mesin rekayasa sosial, ekonomi dan politik di negeri ini.

Jika dibandingkan dengan daya dobrak mahasiswa belakangan ini, keberadaan banyaknya profesor tersebut terhadap perbaikan negeri itu justru tak terlihat. Katakanlah pergerakan mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia hari ini berhasil membongkar apa yang disebut kedok komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Namun, para perkumpulan profesor tidak mampu mendobrak apapun untuk berbaikan di Indonesia. Paling, hanya menjadi tren gerakan para profesor adalah sebatas menggelar deklarasi penolakan secara musiman, itu pun dapat dipastikan tak jauh dari praktik order deklarasi dari penguasa. Jadi, sungguh ironi jika mencermati eksistensi mahasiwa dan para profesor di negeri ini. Sederhananya, jauh dibutuhkan peran mahasiswa bagi perbaikan negara hari ini jika dibandingkan dengan peran para profesor.

Sebagai contoh, Provinsi Aceh misalnya, wilayah tersebut dikategorikan sebagai provinsi yang termasuk empat besar sebagai peraih gelar profesor terbanyak di Indonesia (sepanjang 2023-2024), namun demikian perhatikan kenyataan pendidikan di Aceh? Justru semakin parah dengan tidak menyebutnya terjun bebas. Oleh karena itu, menarik untuk menjawab terkait pertanyaan setelah banyak profesor, lalu apa? Bisakah membumikan kepakaran tersebut ke ruang perubahan dan perbaikan masyarakat? Mampukah mendobrak kebijakan yang buta dan tuli terhadap misi mencerdaskan kehidupan bangsa? atau bisakah para profesor berani memerdekakan belenggu pembodohan di dunia kampus di tengah maraknya gelombang komersialisasi pendidikan? Atau justru tergiur dan larut bersembunyi di balik transaksi praktik joki dalam menggejar gelar profesor agar dapat mencapai status guru besar yang terhormat dan berharap pujian dari sana dan sini.

Sudah saatnya proses pencapaian para profesor dibenahi dan membenahi diri. Begitu juga stigma masyarakat mesti dibongkar agar tidak terjebak ke dalam pandangan pendidikan di masa kolonial Belanda yang seolah-olah gelar adalah penentuan kemajuan, martabat, kualitas dan pencerahan. Padahal di balik itu semua itu kental dengan praktik pembodohan dan manipulatif atas nama pendidikan dan status sosial serta jabatan. Belum lagi soal gelar akademik yang belum tentu menjadi garansi dalam mencerah masyarakat, justru yang marak terjadi adalah para peraih gelar akademik lebih suka memikirkan kehidupannya sendiri, dan gemar menyusu penelitian dari anggaran pemerintah. Anggaran pemerintah dilibas, tanggung jawab perbaikan dan pencerahan masyarakat pun kandas.

Maka benarlah judul tulisan di media Kompas pada beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa “Profesor Hanyalah Nama”. Artinya apa yang bisa diharapkan setelah itu untuk perbaikan daerah dan misi mencerdaskan kehidupan bangsa secara progresif dan benar-benar merdeka. (Zulfata)

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi