Saat Para Bandit Memimpin Aceh

Zulfata, Chief Executive Officer (CEO) Media Katacyber.com

Oleh: Zulfata
CEO Media katacyber.com

Postur kepemimpinan di Aceh belakangan ini semakin menarik dicermati. Usai faktor kekhususan dalam bersyariat Islam luntur telak dalam merekayasa politik atau menciptakan pemimpinnya di Aceh, justru yang terjadi hari ini adalah Aceh didominasi oleh poros politik para bandit yang memiliki modal finansial dalam merawat kekuatan politik.

Sederhananya, kata bandit secara bahasa artinya orang jahat. Namun, secara terminologi bandit dapat dimaknai sebagai seorang atau sekelompok orang yang memiliki perangai cerdik dalam memanipulasi, serta memiliki kekuatan dalam mengintervensi di ruang publik. Dalam perspektif kearifan lokal Aceh, memang ada suatu kebanggaan bagi kalangan tertentu jika dipanggil sebagai bandit atau bos para bandit.

Jika di Jakarta ada yang menyebut ada fraksi politik jatah preman, maka di Aceh ada politik yang dikuasai dan didominasi oleh para bandit. Disadari atau tidak, kehadiran para bandit politik di Aceh hari ini telah memutuskan tradisi transformasi kepemimpinan di Aceh pra-konflik Aceh. Sehingga ada batas sejarah kepemimpinan politik Aceh yang terputus atau berbanding terbalik antara pra konflik Aceh dengan pasca konflik Aceh.

Jika dicermati pola politik sebelum konflik Aceh hingga kepemimpinan politik masa kerajaan Aceh, kita dapat menemukan bahwa pola politiknya masih kental dengan kesadaran pemimpin Aceh yang memiliki gagasan merakyat dan visioner untuk memimpin Aceh. Namun demikian, pasca konflik Aceh hingga setelah MoU Helsinki, kehadiran peran politik Bandit semakin mengakar dan brutal menerobos sendi-sendi birokrasi, hukum dan ekonomi di Aceh.

Pada posisi ini, memang tidak keliru jika ada pihak yang mengatakan bahwa akibat kebla-blasan dalam memilih pemimpin di Aceh menjadikan Aceh jauh dari apa yang disebut tamaddun Aceh (peradaban). Sehingga Aceh hari ini dibangun secara kering moral, omong kosong gagasan meskipun surplus anggaran yang dikorupsi. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan para pemimpin di Aceh belakangan ini ramai disekolahkan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dapat dibayangkan bagaimana Aceh hari ini dan sepuluh tahun ke depan? Bahwa Aceh dipimpin oleh para bandit, baik bandit memimpin level provinsi, kota/kabupaten hingga desa (gampong)? Belum lagi jika disenter para bandit yang diangkat menjadi kepala dinas hingga pemimpin lembaga civil society di Aceh? Singguh hari ini Aceh dikepung oleh para bandit-bandit.

Uraian selanjutnya adalah bagaimana lembaga yang dianggap tidak berpolitik seperti lembaga pendidikan, agama dan lembaga kesehatan serta lembaga kekaryaan seni-budaya di Aceh? Apakah lembaga-lembaga tersebut lepas dari pemimpin para bandit? Mungkin jawabannya juga iya. Sehingga benar adanya kampus-kampus dan lemanaga lainnya di Aceh juga dipimpin oleh para bandit atau dikontrol oleh bandit.

Jika sejarah Aceh pernah mengajarkan bahwa pemimpin di Aceh tidak boleh lepas dari koridor apa yang disebut sebagai “adat bak po teumerehom, hukom bak Syiahkuala”. Namun hari ini yang terjadi adalah adat bak bandit, hukom pih bak bandit( adat-perilaku ditentukan oleh bandit, hukum juga diciptakan dan ditentukan oleh para bandit”.

Mengapa para bandit di Aceh dapat berkekuatan sedemikian? Jawabannya adalah karena para bandit di Aceh memiliki kantong cuan, jaringan dan misi untuk saling memperkaya golongan tanpa sedikitpun peduli terhadap kebutuhan rakyat secara menyeluruh. Sungguh apa yang disebut masyarakat terdidik secara politik dan sejahtera secara ekonomi masih jauh panggang dari Aceh 2024 hari ini.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi