Oleh: Apriadi Rama Putra
Majelis Adat Aceh (MAA) adalah salah satu lembaga adat yang memiliki peran penting dalam menjaga, melestarikan, dan mengembangkan kekayaan adat istiadat serta kebudayaan Aceh. Keberadaan MAA bersama Lembaga Wali Nanggroe menjadi garda terdepan dalam menjaga khazanah adat Aceh yang sangat kaya dan beragam. Namun, belakangan ini, MAA Aceh Tenggara tampaknya mengambil langkah yang memicu perdebatan, khususnya terkait dengan Pilkada Aceh Tenggara. Surat edaran yang dikeluarkan oleh Ketua MAA Aceh Tenggara seakan-akan memberi sinyal tentang siapa yang pantas menjadi Bupati Aceh Tenggara berikutnya. Tindakan ini bukan hanya tidak relevan dengan tugas pokok MAA, tetapi juga berpotensi menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu di tengah proses politik.
Sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 8 Tahun 2019, tugas utama MAA adalah melestarikan, membina, mengkaji, dan mengembangkan adat istiadat. MAA juga bertanggung jawab untuk membantu pemerintah dalam pembangunan masyarakat dan budaya, serta memberikan kedudukan hukum adat dalam hal keperdataan adat dan persengketaan adat. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) MAA serta peran tokoh adat juga menjadi bagian dari tugas penting lembaga ini.
Namun, apa yang dilakukan oleh Ketua MAA Aceh Tenggara dengan surat edarannya yang seakan-akan mengisyaratkan siapa yang pantas menjadi pemimpin di Pilkada Aceh Tenggara, adalah sesuatu yang jauh dari tugas pokok MAA. Hubungan antara lembaga adat dengan proses politik seharusnya jelas dibatasi. Ini karena kontestasi politik bukanlah ranah adat istiadat. Kontestan dalam Pilkada adalah individu-individu yang berkompetisi secara demokratis untuk mendapatkan kepercayaan publik, bukan figur-figur yang dipilih berdasarkan garis keturunan atau kekerabatan adat.
Ketika MAA, melalui pemimpin lembaganya, mulai ikut campur dalam proses politik dengan mengeluarkan pernyataan yang seolah-olah mendukung atau memberi sinyal siapa yang lebih pantas memimpin, maka lembaga ini telah keluar dari jalur yang seharusnya dijaga.
Tindakan Ketua MAA Aceh Tenggara tersebut bisa disebut sebagai langkah yang menimbulkan sensasi tidak perlu. Bagaimana mungkin sebuah lembaga adat, yang seharusnya netral dan berdiri di atas kepentingan seluruh masyarakat, justru terjebak dalam dinamika politik? Proses Pilkada adalah ranah yang harusnya diatur dan diawasi oleh lembaga-lembaga terkait, seperti Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tenggara, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan aparat penegak hukum setempat. Biarkan mereka yang lebih memahami aturan main dalam kontestasi politik menjalankan tugasnya. MAA seharusnya lebih fokus pada pengembangan adat dan budaya, serta peningkatan kualitas SDM di lingkup adat.
Surat edaran tersebut, selain tidak relevan dengan peran MAA, juga berpotensi menimbulkan persepsi negatif di kalangan masyarakat. Apakah MAA ingin menunjukkan bahwa mereka punya peran dalam menentukan siapa yang layak memimpin? Jika demikian, ini adalah sebuah preseden buruk yang harus segera dihentikan.
Daripada ikut campur dalam proses politik, MAA Aceh Tenggara seharusnya lebih fokus pada tugas pokoknya, yakni membenahi internal lembaga dan meningkatkan kualitas SDM. Selama ini, banyak yang meragukan efektivitas lembaga adat di tingkat desa, mukim, maupun kecamatan. Tidak sedikit kasus di mana lembaga adat tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, terutama dalam menyelesaikan persengketaan adat atau memberikan bimbingan adat yang sesuai. Ini seharusnya menjadi perhatian utama MAA, bukan terlibat dalam dinamika politik yang justru mengaburkan fungsi lembaga itu sendiri.
Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga adat bisa meningkat jika MAA mampu menunjukkan bahwa mereka benar-benar fokus pada pelestarian budaya dan peningkatan kapasitas masyarakat adat. Jika lembaga adat terlibat dalam politik, justru mereka akan kehilangan wibawa dan kepercayaan masyarakat.
Netralitas adalah kunci utama bagi sebuah lembaga adat dalam menjaga marwah dan wibawanya di mata masyarakat. Ketika sebuah lembaga adat mulai terlibat dalam ranah politik, netralitas ini menjadi terancam. Terlebih lagi, masyarakat akan mulai mempertanyakan motif di balik tindakan tersebut. Apakah MAA Aceh Tenggara benar-benar bertujuan untuk melestarikan adat, atau justru ikut bermain dalam permainan politik yang kotor?
Dalam hal ini, Ketua MAA Aceh Tenggara perlu diingatkan bahwa tugas utamanya adalah menjaga dan melestarikan adat istiadat, bukan memilih pemimpin politik. Biarkan proses politik berjalan sesuai dengan mekanisme yang ada. Ada lembaga-lembaga yang memang diberi tugas dan wewenang untuk mengawasi jalannya Pilkada. MAA seharusnya tidak ikut terlibat, apalagi memberikan sinyal-sinyal politik yang justru bisa menimbulkan polarisasi di kalangan masyarakat.
Surat edaran yang dikeluarkan oleh Ketua MAA Aceh Tenggara terkait Pilkada adalah tindakan yang tidak relevan dan menimbulkan sensasi yang tidak perlu. MAA adalah lembaga yang seharusnya fokus pada pelestarian adat, budaya, dan peningkatan kualitas SDM di lingkup adat. Keterlibatan MAA dalam politik hanya akan merusak citra lembaga adat itu sendiri dan menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.
Sebagai lembaga yang diamanatkan untuk menjaga khazanah adat Aceh, MAA harus menjaga netralitasnya dan tidak terlibat dalam dinamika politik. Fokus utama MAA seharusnya adalah membenahi internal lembaga, meningkatkan kualitas SDM, dan memastikan bahwa adat istiadat Aceh terus berkembang di tengah perubahan zaman. Mari kita biarkan proses Pilkada berjalan sesuai mekanisme demokrasi yang ada, sementara MAA tetap berpegang teguh pada perannya sebagai penjaga adat dan budaya masyarakat Aceh.
Leave a Review