Oleh : Eno Malaka
Banyak orang yang mengaku bahwa jatuh cinta adalah salah satu momen paling indah dalam hidupnya, padahal jatuh cinta selalu punya dua sisi. Cinta yang jatuh kepada kita atau kita yang dijatuhkan oleh cinta. Bulan januari selalu dianggap sebagai bulan yang penuh dengan harapan dan kebahagiaan,bulan inilah dimana seseorang akan membuktikan janjinya di tahun lalu. Menjadi lebih baik, lebih rajin, goals badan idel dan hal-hal keren lainnya. Semua selalu berawal dari januari tapi tidak dengan bulan januari 2021. Sore hari yang indah di bawah jembatan layang banjir kanal barat, aku menikmati kopi yang dibuat anak-anak sekitar sambil melihat warna oranye mentari yang berangsur tenggelam dan dibarengi dengan lagu country road semakin menambah kesyahduan rabu sore itu. Saat sibuk menikmati keindahan sore yang masih akan berlangsung 48 menit kedepan, aku dihampiri seorang perempuan yang menurut perkiraanku akan merusak suasana sore ittu. “Permisi mau tanya” dia menyapa padaku dengan wajah yang terlalu dingin untuk disebut wajah manusia. “Mas tau ngga kedai kopi yang namanya kedai merekah?” Sekarang aku sadar wajah pucatnya pasti akibat karena kekurangan kopi, hampir saja aku menyebut dia drakula.”Memerah Mba? merekah maksudnya?” Aku memastikan pertanyaan perempuan itu karena aku tidak tahu ada kedai dengan nama tersebut. “Oh iya Mas, merekah” Dia tersenyum dengan sedikit malu, lucu juga raut wajah malunya.“Oh kedai itu berada di jalan Stadion Timur, Mba belok kanan ke arah jl Kartini, lalu lurus 600 meter kea rah Selatan, habis itu ada pom bensin belok kiri dan kalo ada stadion belok kiri laginah kedainya di sebelah kiri jalan.” Aku mencoba menjelaskan dengan rinci agar tidak tersesat. “Jalan stadion itu sebelah mana ya Mas? Terus jalan Kartini juga dimana yah? Kalo dari masjidagung pergi ke arah mana yah?” Jelas ini adalah pertanyaan dari orang yang bakalan ditolak jika mendaftar sebagai pilot, ilmu navigasinya terlalu parah atau istilah mudahnya buta map.“Hadeh ribet ini” aku berucap dalam hati.”Ayo aku antar aja Mba.” Ini bukan karena aku baik, tapi karena dia sudah terlanjur bertanya padaku dan jika ternyata dia menghilang maka aku yang akan jadi sasaran tersangka pertama.”ngga usah Mas kalo ngrepotin.” Dia menolak dengan tersenyum, tapi seperti yang kita ketahui bersama senyuman itu tidak merubah fakta bahwa dia butuh dibantu.
“Halah santai Mba, aku ngga harus sampai nyebrang pulau ko. Jadi ngga ngrepotin.” Aku mencoba meyakinkan dengan bahasa yang santai agar suasana tidak menjadi mencekam, perempuan itu sangat dingin dan jika aku juga menggunakan bahasa yang kaku maka itu sama buruknya dengan konfrensi negara di pagi hari. “Yaudah kalo ngga ngrepotin Mas.” Akhirnya perempuan dingin itu luluh dengan ajakanku. Lalu lintas saat itu cukup ramai, kebetulan saat itu adalah waktu pulang kerja dan jalan raya selalu dipenuhi kendaraan-kendaraan yang selalu siap dengan klaksonnya. Sore hari di kota ini dipenuhi oleh orang-orang yang selalu terburu-buru, sangat menyebalkan. Empat menit perjalanan terasa sangat lama saat ini, perempuan itu benar-benar tidak bicara apapun. Aku mungkin bisa memaklumi beberapa orang punya sifat tidak enak bertemu orang baru, tapi ayolah tidak mengajak bicara orang yang mencoba membantu kita harusnya lebih tidak enak. “Oh ya, Mba Namanya siapa?” Akhirnya aku yang memulai percakapan. “Aqila” Dia jawab singkat dengan nada yang lirih. “Hah, lilia?” Aku mencoba memastikan, jalan raya sangat ramai, bunyi klakson dimana-mana. Padahal aku sedang tidak di India tapi entah kenapa rasanya aku ga perlu ke India, aku sudah seperti punya pengalaman yang mirip di kota ini. “Aqila, Mas.” Dia menjawab kembali dengan nada yang sedikit naik tapi tetap saja masih terlalu lemah untuk telingaku. “Oh Aqila, di sini ngapain?” Aku melanjutkan basa-basiku.
“Aku mau melanjutkan kuliah Mas.” Jawabnya singkat. Setelah beberapa waktu melewatu berbagai kesibukan di jalan raya, kami sampai di kedai merekah. Lokasi kedai ini sangat unik berada di samping tempat pembuangan sampah, namun banyak yang suka tempat ini kira-kira ada dua jenis orang yang menyukai tempat ini pertama adalah jenis yang menyukai kalo dirinya masuk ke dalam sebuah trend yang sedang viral, kebetulan tempat ini banyak dibicarakan di sosial media dengan pamor kedai unik yang estetik jenis orang ini biasanya dikenal FOMO. Jenis kedua adalah mereka yang menyukai ketenangan dan bisa disebut penyuka literasi karena kedai ini juga menawarkan pengalaman membaca buku-buku gratis, koleksinya cukup lengkap dari novel, cerpen, buku-buku komik, buku-buku gossip ataupun buku tuntunan sholat. Entah Aqilajenis yang keberapa. “Oke Mba, kita sudah sampai.”
“Terima kasih ya Mas.” Aqila turun dari motor dan langsu tersenyum kepadaku, ternyata sangat manis senyumnya. Aku sudah salam dengan menyebutnya sebagai drakula. “Oh ya untuk jasa mengantar saya berapa Mas?” “Hallah ngga usah Mba, aku bukan tukang ojek jadi santai aja.” Aku menolak tawaran bayaran dari perempuan itu sudah jelas aku membantunya dengan Ikhlas tanpa mengharapkan imbalan apapun. “Walah makasih banyak, oh ya namamu siapa ya Mas?” Dengan ekspresi yang ceria dia bertanya. “Aku dino Mba.” Aku juga membalasnya dengan wajah yang bersahabat. “Oke Mas Dino, sampai berjumpa lagi.” Ucap Aqila. “Oke duluan ya Mba.” Aku langsung bergegas pergi karena waktu sudah cukup gelap, sudah waktunya pulang ke kos dan melaksanakan ibadah sholat tentunya. Aku juga sedang kuliah tepatnya melanjutkan Pendidikan S2, kebetulan aku berkuliah di lokasi yang sama dengan dulu aku kuliah tentu aku sangat hafal dengan daerah ini. Sesampai di kos aku bergegas untuk mandi dan melaksanakan ibadah serta menyiapkan segala yang kuperlukan untuk berkuliah besok pagi.
Pagi hari ketika masuk kuliah aku masuk kuliah seperti biasa karena memang kelas yang aku gunakan untuk berkuliah S2 tidak berbeda dengan yang aku gunakan saat kuliah S1, yang membedakan adalah mahasiswanya saja. Perkuliahan diawali dengan perkenalan masing-masing mahasiswa dengan menyebutkan latar belakang masing-masing, banyak karakter baru yang kutemui saat ini. Yang paling menarik menurutku ada 5 mahasiswa, Alya yang paling cerewet dan pintar, Yudi yang sangat pendiam mungkin tepatnya cowo cool yang didefinisikan sebagai sigma male, ada juga Susi tipikal gadis manis dewasa yang komentarnya bikin sakit hati, ada juga Rey cowo paling lucu di kelas yang juga jago menari, dan yang paling mengejutkanku adalah Aqila gadis yang pertama kali bertemu dengannya sempat aku anggap sebagai drakula, ternyata dia adalah gadis yang hanya 5 menit berbicara semua perhatian langsung tertuju padanya. Sungguh karakter yang berwarna-warni, sebagai seseorang yang mencintai kedamaian aku punya insting harus menjauhi mereka agar nantinya kehidupanku bisa berjalan dengan tidak dipenuhi banyak hal-hal mengejutkan. Ternyata harapanku tidak tercapai sepanjang perkuliahan justru aku sangat berteman dekat dengan kelima orang tersebut.
“Mas Doni, habis pulang mau kemana?” Aqila bertanya saat aku berkemas persiapan pulang kuliah, dia kebetulan duduk di belakangku. “ngga kemana-mana, paling cuma di kos” jawabku dengan santai sambil memalingkan wajah ke arahnya. “Ayo kita nyari buku, aku ga tau tempat-tempat yang jual buku di sekitar sini. Mau ngga?” ajak Aqila dengan tersenyum manis.”boleh sih tapi habis maghrib kan perginya? ”Perkuliahan kami selalu berakhir menjelang maghrib. “Ngga usah, sekarang aja mumpung masih ada tenaga, kalo pulang dulu ke kos gravitasinya udah beda. Kita maghriban di luar aja aku sedia mukena ko.” Sanggah Aqila. “Yaudah” Aku mengiyakan pendapatnya.
Selama diperjalanan menuju lokasi toko buku Aqila tidak banyak berbicara,dia memang tipikal yang berbicara jika ada perlunya. “Aqila, aku bingung sama kamu deh.” Aku memulai percakapan. “Bingung kenapa Mas?” Aqila menjawab dengan menegakan kepalanya. “Kamu kan termasuk yang aktif di kelas, semua hal kamu debat seolah-olah kamu adalah counter untuk semua orang tapi kadang-kadang kamu malah banyak diamnya.”
“Oh itu, aku kan punya energi sosial yang sedikit ya Masjadi memang gampang cape aja secara psikis.” Jelas itu adalah alasan yang kurang masuk akal, apakah ada takaran yang pasti untuk energi sosial. Sesampainya di toko buku Aqila langsung menelusuri tiap-tiap toko buku yang berbaris sepanjang jalan di samping stadion sepak bola. Dia banyak membeli buku-buku teori kebahasaan khususnya buku milik Chomsky, menurutnya Chomsky adalah cendekiawan bahasa yang paling menarik.
“Mas Dino, ayo pindah ke Gramedia.” Ajak Aqila dengan menggenggam tangan kiriku, “Mau beli buku lagi?” Jawabku. “Iya lah, di Gramedia isinya apalagi kalo bukan buku.” Raut wajah aqila terlihat sedkit kesal dengan mengendurkan wajahnya. “Maksudnya kan kamu udah beli banyak buku tuh.” Aku mengarahkan tatapanku ke tas gendongnya yang sudah berisi sekitar lima buku. “Emang mau buku apalagi, di sini ga ada po bukunya?” aku melanjutkan pertanyaanku. “Tetep aja beda, udah ahh ayo ke Gramedia aja.” Aku mengalah dan menuruti ajakannya. “Emang buku yang kamu cari ngga ada di took buku tadi?” Aku masih penasaran dan mengulangi pertanyaanku. “Ada sih, Cuma aku ga mau beli aja di sana.” Jawabnya enteng. “Apa toh yang kamu cari?” Aku melanjutkan. “Aku mau beli novel judulnya hujan karya om Tere Liya, maka nya aku mau ke Gramedia.” Ujar Aqila. “Lah kenapa” Ujarku. “Karena ini bentu aku menghargai para penulis buku, menurutku membaca buku itu bukan sekedar membaca tulisan. Lebih dari itu membaca buku artinya aku sedang berbicara langsung dengan penulisnya, makane aku ga mau beli buku bajakan karena itu sama saja aku sedang berbicara dengan kloningannyasi penulis.” Filosofi yang cukup bagus dan terdengar tulus. “Terus buku teori-teori yang kamu beli di toko tadi kan bajakan, berarti setelah ini kamu ngobrol sama kloningan Chomsky dong.” Ujarku. “Ya ga papa, lagian Chomsky ga bisa Bahasa Indonesia. Susah aku ngobrolnya hahahaha.”
Kami sampai di lampu merah yang sedang merah, 700 meter sebelum Gramedia. “Mas tau ngga kalo hidup itu seperti lampu merah.” Tiba-tiba Aqila bertanya. “Kenapa emangnya?” Tanyaku. Aqqila kemudian mengalungkan kedua tanggannya ke perutku dan lanjut menjelaskan “Jadi dalam kehidupan manusia itu ada yang sedang mengalami lampu merah, mereka golongan yang sedang gagal dan terpuruk jalan hidupnya seakan berhenti. Ada juga yang sedang lampu kuning, mereka adalah golongan orang-orang yang sedang berproses mereka sedang siap-siap untuk jalan hidupnya. Dan ada yang sedang diposisi lampu hijau, merekalah orang-orang yang sedang berjalan lancar tanpa hambatan. Hidup itu adil jika semua orang lampu merah, nanti hidup jadi macet kalo semuanya lampu hijau nanti akan banyak tabrakan dimana-mana.” Aku langsung salah tinkah kalimat Aqila dan pelukannya cukup punya kekuataan untuk mengacaukan jiwaku. “Wow keren.” Tanggapanku singkat.
Sesampaiya di Gramedia, Aqila sangat aktif berkeliling dari rak satu ke rak lainnya. Gramedia seperti taman baginya, dia banyak berceloteh tentang penulis-penulis kesukaanya Ernest Hemingway, Fyodor Dostoyevsky, Osamu Dazai, Franz Kafka, dan nama-nama lain yang susah dilafalkan, jelas asing ditelingaku. Mengejutkan gadis yang kadang aktif kadang dingin berkenalan dengan tokoh-tokoh seperti itu. “Mas tau ngga, ada novel bagus yang ga tersedia di Gramedia. Padahal itu novel terbaik nomor 2 di Jepang?” Alya bertanya. “Ngga tau, ap aitu?” Ujarku. “Judul bukunya No Longer Human, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi gagal jadi manusia.” Ujarnya. “Kenapa di Gramedia ga ada, kalo emang itu novel terbaik di Jepang?” Aku penasaran mengapa buku itu tidak dijual di Gramedia. “Jadi novel itu masuk kategori novel terlarang, ga tau sih dibagian mana nya. Tapi kata orang-orang kalo kita dalam kondisi yang rapuh terus mmebaca novel itu maka akan terlintas keinginan mengakhiri hidup.” Alya menjelaskan sambil berjalan menuruti rak-rak buku dengan kepala yang menoleh ke kanan dan ke kiri. “Wah buku terlarang ternyata, kamu pernah baca ngga?” Aku bertanya. “Pernah, aku ulang-ulang tiga kali malah.” Jawabnya dengan riang. “Wih keren juga mentalmu.” Ujarku dengan kagum. “Hehehe aku punya cita-cita, suatu saat aku mau mengunjungi makam Dazai dan menuliskan surat untuknya. Tulisannya ‘Dazai kamu salah, sepi itu menyenangkan ’ hahahaaha” Alya menjelaskan dengan penuh niat.
Setelah sekitar 67 menit akhirnya Aqila membeli novel sirkus pohon karya Andrea Hirata, memang rada bingung dengan pola piker perempuan dari awal katanya mau beli novel hujan tapi yang dibeli malah sirkus pohon. Kami akhirnya pulang dengan melewati suasana malam kota Semarang yang selalu ramai dan Aqila yang sekarang banyak bicara tentang banyak hal, rak buku benar-benar mengisi semua energinya. Minggu-minggu berikutnya kami semakin dekat, banyak kenangan-kenangan menyenangkan yang kami lalui selama kuliah baik berdua maupun ber-enam dengan circle kami. 5 september adalah ulang tahun Aqila, dan sebagai sahabat dekatnya yang bahkan sangat dekat sudah jelas aku mau memberinya hadiah di hari ulang tahunnya. Beberapa Masyarakat di wilayah utara bumi percaya memberikan hadiah di hari ulang tahun untuk sahabat dekat bisa memberinya umur panjang dan aku sangat ingin Aqila lama di bumi.
Aku memikirkan hadiah apa yang cocok gadis seperti Aqila, aku cukup kebingungan. Bukan kepada apa barangnya tapi lebih ke apakah aku mampu membelinya, karena sebenarnya aku masih dalam tahap banyak kekurangan. Aku hanya mahasiswa yang semua pendidikanku ditempuh dengan beasiswa, aku cukup berbakat di bidang seni khususnya menggambar. Akhirnya aku memikirkan ide untuk membuat hadiah ulang tahun berupa sketsa wajah Aqila saat masih kecil, tapi untuk menemukan potretnya juga bukan hal yang mudah. Aku membuat akun facebook dan menccari akun facebook Aqila, aku akhirnya menemukannya dan seperti sedang dibimbing sang keberuntungan aku menemuka foto dia saat masih alay. Aku mengunduhnya dan mulai mensketsa wajah Aqila dengan serius, aku belum pernah merasa gagal selama menggambar apapun tapi kali ini aku selalu tidak puas dengan hasil gambaranku. Kira-kira sekitar 20 lembar kertas aku habiskan untuk menggambar wajah Aqila hingga aku merasa puas.
Malam hari tanggal 5 september aku mencoba memberinya kejutan, aku tahu Aqila tidak betah di luar dia selalu pulang kos sebelum pukul 22.00 WIB. Aku sengaja tidak menjadi yang pertama mengucapkan selamat ulanng tahun pada Aqila, banyak yang perlu kukerjakan hari itu, tugas perkuliahan, menyiapkan mental, memilih kata-kata, membayangkan skenario saat aku memberikan hadiah ini pada Aqila, juga menebak ekspresi seperti apa yang akan dipilih Aqila menanggapi hadiahku. Aku berangkat ke kos Aqila pukul 21.45 WIB, berharap bisa mendapat momen yang pas saat bertemu dengannya. Sesampainya di kos Aqila, semua hal yang aku siapkan sebelumnya, mental, tebakan skenario saat aku menyerahkan hadiah, dan lain-lainnya sudah matang sekarang. Aku siap dan sangat siap, namun apa yang terjadi aku melihat Aqila sudah ada di kos dan dia sedang berpelukan dengan Rey sambil menangis tersedu-sedu, aku sangat yakin tangisan itu bukan tangisan kesedihan maka jelas itu menangis karena bahagia. Tidak perlu rumus apapun aku yakin itu adalah pertanda bahwa mereka sekarang resmi berpasangan. Aku melihat mereka dengan kaku, mereka yang menyadari kedatanganku melalui Cahaya lampu motor juga mengakhiri pelukannya, aku ingin langsung pulang sebenarnya tapi sudah terlanjur bertemu mereka rasanya semua yang kusiapkan sudah runtuh. Aku lalu menghampiri mereka dan memberikan hadiah pada Aqila. “Aqila selamat ulang tahun yah, semoga tahan banting, lama di bumi dan Tuhan memberkati.” Aku mengucapkannya dengan menekan semua emosiku dan tetap bersenyum kalem. “Terima kasih banyak Mas Dino.” Aqila menyeka semua air matanya. “Yaudah aku pulang dulu ya Aqila-Rey.” Aku pamitan dengan mereka. “Mas Dino, ngobrol dulu lah. Jangan buru-buru pulang.” Aqila mencoba menahanku. “Iya Din, kita ngobrol dulu, santai-santai dulu.” Rey juga menyampaikan hal yang sama. Kos Aqila memang kos bebas, wajar karena Aqila susah diatur dan merasa tidak nyama jikan harus tinggal di tempat yang dibatasi jam keluar malam.
“Maaf yah, aku ada kerjaan malam ini.” Aku bertahan dengan pendirianku untuk pulang dengan membuat alasan, menurutku menangis semalaman di kos juga merupakan kerjaan jadi aku tidak berbohong kali ini. “Walah saying banget, yaudah hati-hati ya Mas.” Ujar Aqila. “Yaudah pamit yah.” Aku langsung pulang dan melambai ke merka berdua, aku merasakan suasana yang aneh diperjalanan. Waktu seperti berhenti, kepalaku menjadi snagat berisik seperti banyak kuda yang berlarian, dadaku juga seperti sudah kehilangan semua organ dalamnya. Sekarang rasanya sangat kosong, sesampainya di kos aku juga merasakan suasana yang sangat aneh. Aku tidak bisa menjelaskan apa perasaanku ini, tapi aku kemudian menulis disebuah kertas yang tentunya sambil meneteskan air mata. “Dazai kau benar, sepi itu menyakitkan.” Aku menjadi tidak karuan setelah momen itu, aku banyak melamun tidak jelas. Aku dapat kabar dari Alya bahwa Aqila dan Rey adalah pasangan sepanjang SMP-SMA mereka pernah putus dan kebetulan saat melanjutkan S2 mereka bertemu di satu kampus yang sama. Berita itu semakin membuatku terjun bebas ke inti bumi.
Taapi hidup haruslah tetap berjalan, aku mulai menjauhi mereka berdua dan sekarang aku semakin rajin pergi ke komunitas melukis. “Mas Dino, ayo kita ngopi nanti habis maghrib.” Ajak Aqila saat pulang kuliah. “Maaf Aqila, aku ada acara dengan anak-anak lukis.” Aku menolak ajakan Aqila. “Walah aku boleh ikut ngga Mas?” Aqila menawarkan diri. “Kayane ga bisa deh, aku ada kegiatan lain setelah bertemu anak-anak Lukis. Nanti malah kamu pulangnya kemaleman.”Aku memberikan alasan lain yang semoga dipahami Aqila. “Hallah, kenapa toh Mas. Sekarang cuek banget gitu?” Aqila memprotes ucapanku. “Ngga kenapa-kenapa, kan aku emang begini. Sudah ya, aku ga mau terlambat.” Aku langsung beranjak keluar kelas. Sikap dinginku ke Aqila berlangsung hingga satu bulan sebelum wisuda, kita tidak pernah lagi keluar bersama atau bahkan sekedar berbicarapun kami tidak melakukannya. Aku benar-benar sudah sangat jauh dengannya.
Suatu hari di kamis malam yang tidak banyak kebisingan, aku membuaat kopi sebagai teman untuk mengerjakan laporan akhir perkuliahanku. Sekitar 20 menit mengetik, pintu kamar kosku mendapatkan banyak ketukan. “Mas Doni, Mas Doni, Mas Doni.” Namaku disebut sebanyak tiga kali. “Iya sebentar.” Aku beranjak membukakan pintu dan aku melihat Aqila. “Aqila, ada apa kamu kesini?” Ujarku. “Mas. Aqila mau ngomong sesuatu.” Ucapnya dengan nada yang terburu-buru. “Yaudah sebentar, kita ngobrol di ruang tamu aja.” Kita beranjak menuju ruang tamu yang tersedia di kos ku. “Jadi mau ngomong apa Aqila?”
“Mas Dino, Aqila sedang mengalami pekan yang tidak menyenangkan. Aqila tidak tahu apa yang terjadi.” Aqila mulai menjalaskan. “Kamu lagi sakit atau kena masalah Aqila?” Aku mencoba berempati. “Iya Mas, Aqila sakit dan lagi kena masalah. Malah ini sudah musibah jatuhnya.” Jawab Aqila. “HAHHH Kenapaaaa?” Responku kaget.
“Hati Aqila Mas, kehilangan pemiliknya.” Aqila menunjuk ke arah dadanya. “Siapa?” jawabku dengan penuh penasaran.
“KAMU MAS.”
TAMAT
Leave a Review