Rafaksi Gabah Dicabut, Kabar Baik Bagi Petani?

Oleh: Muhammad Irvan Mahmud Asia
Direktur Eksekutif Pusat Pengkajian Agraria & Sumber Daya Alam (PPASDA)

Presiden Prabowo Subianto sedari awal (asta cita), pidato resmi kenergaraan, saat wawancara dengan insan media dan dalam berbagai kesempatan lain selalu menekankan pentingnya swasembada pangan terutama komoditas seperti beras. Ia kemudian mengerahkan berbagai strategi untuk mewujudkannya. Kementrian/lembaga secara bersama mendukung kementrian pertanian.

Salah satunya dengan melalui Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Harga Pembelian Pemerintah dan Rafaksi Harga Gabah dan Beras dimana Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani menjadi Rp 6.500 per kilogram (kg), dari sebelumnya Rp 6.000 per kg. Beleid ini mulai efektif berlaku pada 15 Januari 2025.

Dalam kenyataannya di lapangan terjadi paradoks, sebab dibeberapa daerah, misalnya di Sumatera Selatan dan Lampung HPP GKP dibawah HPP yang telah ditetapkan Rp 6.500 per kg. Alasannya karena GKP ditingkat petani melebihi ambang batas maksimal kadar air yang ditoleransi yaitu 25 persen dan kadar hampa yang melawati 10 persen.

Atas dasar inilah, untuk memberikan pelindungan pendapatan petani padi dan memacu petani terus berproduksi yang outputnya adalah swasembada, maka pemerintah melalui Badan Pangan Nasional (Bapanas) memutuskan untuk melakukan perubahan atas Keputusan Nomor 2 Tahun 2025 dengan menerbitkan Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Nomor 14 Tahun 2025 yang pokok substansinya adalah meniadakan atau menghapus rafaksi harga gabah sehingga tidak terikat dengan batasan maksimal kadar air dan kadar hampa.

Tak hanya Bulog, pemerintah juga mewajibkan swasta untuk membeli GKP ditingkat petani sebesar Rp 6.500 per kg. Menko Pangan Zulkfli Hasan memperingatkan jika ada pihak yang melanggar ketentuan tersebut, ia tidak segan untuk membawanya ke penegak hukum. Seruan tersebut menjadi suatu langkah yang progresif untuk melindungi petani Indonesia, patut diapresiasi.

Konsekuensi dari perubahan ini adalah Bulog harus menyerap gabah petani tanmpa pertimbangan rafaksi. Artinya penyerapan Bulog bisa lebih maksimal terutama memenuhi target penugasan pengadaan gabah dalam negeri pada tahun 2025 sebesar 3 juta ton setara beras.

Mengutip pernyataan Wakil Menteri Pertanian Sudaryono pada hari Jumat (31/1/2025) bahwa keputusan meniadakan rafaksi untuk menjamin kepastian harga hasil panen sehingga berdampak pada kesejahteraan petani. Selain itu, Bulog juga diharapkan bisa lebih cepat memenuhi target penyerapan gabah petani sebanyak 3 juta ton setara beras.

Ini akan diuji oleh waktu, sebab dalam pemberitaan media pada Kamis (6/2/2025) di sejumlah kabupaten sentra padi di Sumatera Utara harga GKP justru menyusut hampir 13 persen di musim panen Februari 2025 dibandingkan musim panen Januari.

Kita berharap, serapan gabah petani oleh Bulog berjalan secara optimal. Tentunya dengan harapan proyeksi panen raya dari Badan Pusat Statistik (BPS) dapat terealisasi. Sebelumnya BPS memproyeksikan panen bulan Januari sebesar 1,31 juta ton beras dan Februari 2,08 juta ton beras. Sementara di bulan Maret diperkirakan melonjak 5,20 juta ton beras. Jika ini terealisasi makan kita surplus mengingat angka ini sudah melampaui konsumsi beras bulanan sebesar 2,5 juta ton.

Bulog Jemput Bola
Kelonggaran persyaratan harus dimanfaatkan dengan baik oleh Bulog untuk melakukan penyerapan sesuai penugasan. Apalagi Bulog baru saja mendapatkan tambahan anggaran Rp 16,6 triliun sehingga total anggaranya di tahun 2025 mencapai Rp 39,6 triliun. Singkatnya Bulog harus menjemput bola dengan mengenyampingkan administrasi yang rumit dan jelimet. Juga tidak ada alasan bagi Bulog untuk tidak membeli beras dengan harga Rp 6.500.

Ata semua itu, Bulog juga harus mendapatkan dukungan dari kepala daerah di tingkat I (Gubernur), kepala daerah tingkat II (Bupati), hingga Kepala Desa. Hal yang kemudian juga dihimbau oleh Menko Pangan Zulkifli Hasan dengan mengajak para pihak untuk bersama-sama membantu Bulog untuk menyerap gabah dengan harga yang sudah ditetapkan pemerintah.

Bulog dituntut adaptif dan bekerja secara cepat dan tepat untuk menyiapkan fasilitas tambahan terutama untuk memfasilitas gabah yang kadar airnya lebih dari 25 persen dan kadar hampa lebih 10%. Kemudian memaksimalkan fasilitas Sentra Penggilingan Padi (SPP) yang jumlahnya sekitar 10 unit yang tersebar di lima (5) provinsi. SPP adalah unit sarana pengolahan gabah dengan peralatan pengolahan berbasis teknologi serta memiliki kapasitas produksi dan penyimpanan yang cukup besar.

Setelah itu, memastikan kualitas gabah dan beras tetap terjaga dan/atau kalaupun turun tidak signifikan, masih dalam kadar yang ditoleransi. Bulog juga harus melakukan penataan pendistribusian terutama untuk daerah-daerah yang selama ini masuk kategori rawan pangan (beras) dan stunting yang sedang dan tinggi.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi