Oleh: Syarifuddin Abe
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata ironi diartikan sebagai suatu kejadian atau situasi yang memiliki pertentangan dengan apa yang diharapkan atau dengan apa yang seharusnya, akan tetapi segala sesuatunya sudah menjadi suratan takdir. Sedangkan dalam Kamus Merriam-Webster, ironi didefinisikan sebagai penggunaan kata-kata dengan tujuan mengungkapkan sesuatu namun yang terjadi justru kebalikan dari makna asalnya. Demikian juga ironi terdapat dalam Kamus Collins, yang diartikan sebagai bentuk humor yang halus dengan melibatkan perkataan-perkataan yang sama sekali tidak kita maksudkan.
Ironi biasanya terjadinya sesuatu peristiwa yang sebaliknya dari apa yang kita duga atau yang kita harapkan. Kita sebagai manusia boleh saja berharap sesuatu, namun ketika kita mendapatkan sesuatu yang jauh dari yang kita harapkan tidak usah berkecil hati. Atau boleh juga dalam kehidupan ini misalnya, kita telah banyak berkorban, kita telah bersusah payah berjuang terhadap suatu keadaan, ketika orang-orang menikmati dengan baik dari apa yang pernah kita perjuangkan, tapi kita justru mendapatkan cemoohan atau malah disingkirkan atau menjadi tidak dilibatkan. Ironi yang banyak terjadi adalah para penguasa atau yang merasa menguasai suatu jabatan selalu takut dan mencurigai para aktivis, sehingga para aktivis selalu menjadi tumbal oleh penguasa yang tidak menguasai dirinya.
Dalam bahasa Yunani kuno, kata ironi dikenal dengan εἰρωνεία, eirōneía, eironeia, kemudian melalui bahasa Belanda menjadi ironie. Kata eironeia pada masa Yunani Kuno sering digunakan oleh Aristhopanes (257-180 SM) dalam naskah-naskan drama pementasannya yang mengacu pada kebohongan ketimbang kepura-puraan. Ketika eironeia tidak lagi digunakan dalam lakon-lakon Aristhopanes, maka ia mengacu kepada sesuatu yang dituju dengan tujuan untuk menyadari makna yang ada dibaliknya.
Ironi merupakan salah satu jenis majas berupa sindiran yang dilakukan dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya, dengan mengatakan kebalikan berdasarkan fakta yang sebenarnya atau mengungkapkan sesuatu hal dengan sindiran yang halus. Sebagaimana dalam kehidupan, kita sering menyindir orang yang suka menyanyi misalnya, sambil berkelakar kita sering berkata, “suaramu merdu ya, tapi lebih merdu lagi kalau kamu tidak menyanyi alias diam saja”.
Dalam peristiwa ironi, segala sesuatunya terjadi sebaliknya. Boleh dikatakan tidak seperti yang diharapkan. Kita boleh saja berkeringat-keringat mempersembahkan sesuatu kepada seseorang, boleh saja berdarah-darah, atau boleh juga nyawa kita pertaruhkan, tapi kalau kenyataan kemudian sebaliknya, itulah ironi namanya. Biasanya banyak terjadi dalam kisah percintaan, seorang anak lelaki dengan penuh pengorbanan dilakukan demi mendapatkan cinta dari seorang gadis. Dalam hujan lebat penuh petir sekalipun, dengan harapan mendapatkan cinta darinya. Tapi apa kenyataannya, sebuah ironi, si perempuan yang ia cintai boleh saja kawin lari dengan pemuda lain, atau boleh juga si perempuan keburu dijodohkan dengan pemuda pilihan orang tuanya, atau yang diterima oleh si pemuda itu lebih sakit lagi, si gadis yang menjadi dambaannya, yang pengorbanannya melebihi segalanya, yang janji-janjinya memenuhi keranjang kerling matanya, selingkuh dengan pemuda kaya? Ironi bukan?
Ironi mengalir sepanjang hidup manusia, memenuhi berbagai aspek kehidupan manusia, maka ironi merupakan ketidaksesuaian antara yang dijalanani dengan hasil yang didapatkan. Yang menarik dari ironi adalah di balik ketidaksesuaian antara yang diinginkan dengan apa yang terjadi adalah adanya tersembunyi suatu logika yang mendasarkan. Ironi hadir dalam sebuah peristiwa, siapa saja boleh menjalani peristiwa tersebut dan ironi boleh saja menjadi sebuah tragedi di tengah atau di akhir perjalanan kehidupan manusia. Sebagaimana ironi yang melingkupi perjalanan hidup guru kebijaksanaan, yaitu Socrates (Meninggal 399 SM).
Siapa tak kenal dengan Socrates, kalau ada yang mengakui sebagai orang yang senang dengan filsafat, kalau tidak tahu dengan Socrates, berarti orang itu hanya omong kosong belaka. Socrates sebagai mana saya jelaskan pada tulisan sebelumnya, ia bukanlah seorang bangsawan atau dari keluarga terpandang, melainkan anak dari seorang tukang batu dan ibu seorang bidan di kampungnya. Socrates belajar filsafat pada Archelaus, yang merupakan murid Anaxagoras (500-428 SM) dan pola pikir filsafat Socrates berbeda dengan para filsuf pada saat itu.
Sebagaimana dijelaskan oleh Fahruddin Fais, pada masa Socrates, terdapat dua kecenderungan cara berfilsafat, cara berpikir sinisme-egoistik yang dimotori oleh kaum Sofis serta cara berpikir spekulatif-kosmologis oleh para filsuf alam. Socrates tidak memakai kedua cara itu, Socrates mengembangkan visi dan misi filsafatnya sendiri. Bagi Cicero (106-43 SM), Socrates merupakan filsuf pertama menjadikan filsafat untuk “turun dari langit untuk dapat menetap dan berdiam di kota-kota tempat tinggal manusia serta dapat masuk ke rumah-rumah penduduknya, kemudian menjadikan filsafat agar memperhatikan kehidupan dan moralitas, kebaikan serta kejahatan manusia”. Bagi Socrates, cara berpikir spekulatif-kosmologis tidak popular lagi dan sangat membenci cara berpikir kaum Sofis yang menolak kebenaran, kebajikan serta keutamaan yang universal dalam kehidupan manusia.
Socrates menggunakan hidupnya berkeliling ke semua sudut kota Athena. Tiada hari tanpa menemui masyarakat Athena hanya untuk menyebar ajaran filsafat. Socrates pernah berkata, “Athena seperti seekor kuda yang lamban dan malas, akulah yang membangkitkan semangat agar menjadi beringas”. Socrates pantang surut mengarahkan masyarakat Athena, Socrates terus menerus membangkitkan semangat masyarakat Athena berdiskusi serta belajar memahami hidupnya, hal ini agar masyarakat Athena memiliki kesadaran dalam merumuskan serta memahami tentang baik-buruk dan benar-salah kehidupan yang masyarakat Athena jalani. Di sinilah letaknya sebuah ironi dalam hidup Socrates. Di sini pula awalnya ironi mengikuti perjalanan hidup Socrates. Perjuangan Socrates menjadi kata kunci kaum Sofis untuk menuduhnya merusak akal anak-anak muda serta mengacaukan keyakinan atau agama masyarakat Athena, Socrates dihukum mati dengan hukuman harus minum racun. Di sini juga, betapa “ujilah hidupmu” milik Socrates bukanlah kata-kata sederhana, melainkan nyawanya pun bisa melayang karenanya.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, pertanyaan-pertanyaan yang Socrates ajukan kepada siapa saja di Athena, sebenarnya tujuan Socrates adalah untuk mencari struktur pengetahuan serta pemahaman orang-orang di Athena yang sama sekali telah melupakan sebuah esensi dari sebuah idea. Maka eironeia bukanlah sebuah kebohongan dan kedustaan, melainkan sebuah retorika yang oleh seseorang dapat saja mengatakan sesuatu persoalan akan tetapi menjadi bermakna lain. Hal ini sebagaimana yang dilakukan Socrates lewat pertanyaan-pertanyaannya dalam menyampaikan bahwa pada orang-orang yang dijumpai Socrates ada sesuatu yang kurang ketika mereka memahami sesuatu. Lebih bersifat keduniaan daripada memahami esensi dari makna tersebut. Tujuan Socrates, bagaimana orang-orang di Athena dapat memahami esensinya dari setiap persoalan yang ditanyakan olehnya. Socrates ingin masyarakat Athena dapat memahami sebuah esensi dari apa yang ketahui dan dipikirkan.
Fitri Kumalasari dalam penelitiannya (2011) mencoba memberi pandangan tentang makna ironi ini, yang ia jelaskan menjadi dua pandangan, yaitu pertama, ironi model lama, yaitu ironi transendental yang mengarah kepada adanya kebenaran esensial dan universal. Pada ironi ini Socrates hadir dan sangat kental dalam dialog-dialog Plato. Dengan ironi, suatu pandangan umum yang jauh dari ketetapan esensial dalam pemahaman manusia diubah menjadi pandangan sahih dan universal yang satu-satunya jalan dapat dicapai melalui kerja akal dan melepaskan diri dari kategori bersifat duniawi/fisik.
Ironi kedua, yaitu yang tidak lagi mengedepankan pencapaian kebenaran universal juga esensial, bahasa dipakai hanya untuk membolak-balikkan makna umum sebagaimana terdapat dalam suatu masyarakat bahkan dapat mengajak siapa saja untuk meredefinisi setiap makna yang hadir. Maka salah satu bentuk ini sebagaimana yang terdapat pada humor. Humor menjadi salah satu bentuk dari ironi, yang kehadirannya tidak lagi mengedepankan kedalaman dan keagungan dari makna itu sendiri. Humor mencoba melepas semua pencapaian universal dan esensial demi menuju keberagaman. Humor mencoba untuk menerima segala hal yang berbeda untuk merefleksikan alur logikanya. Keunikan humor pada persoalan ini adalah mampu memancing tawa serta dapat memberikan perasaan gembira yang menjadikan humor dapat masuk ke mana pun bahkan humor mampu memperkenalkan siapa sebenarnya dirinya.
Walau pada kenyataannya, ironi dan humor berawal pada pemikiran klasik yang awal permulaannya dipakai oleh para filsuf kuno. Ketika kita buntu berpikir. Ketika arah berpikir kita berhenti. Ketika kita kalut karena daya berpikir stagnan. Maka tertawa dengan bumbu-bumbu humor menjadi sesuatu yang menarik. Pada kehidupan Socrates saya menjadi deg-degan sendiri; di mana Socrates menjadikan ironi dalam menyebarkan filsafatnya, tapi justru ironi melingkupi perjalanan hidupnya. Entah ironi ini selalu ingin melekat dalam perjalanan hiudpnya? Sehingga kematian pada diri Socrates juga merupakan sebuah ironi.
Antara ironi dan humor terkadang menjadi sebuah irama pada perjalanan seseorang. Saya sendiri menjadi sedih, Socrates yang keikhlasan hidupnya ia persembahkan untuk memberi cahaya kebenaran kepada manusia, terkadang menjadi sebuah senjata untuk meredam dan mematikan gerak perjuangannya. Di sinilah letak makna bengkok dari yang namanya kebenaran itu, terkadang menurut kita sudah benar, tapi yang terjadi justru sebaliknya, orang-orang bersepakat tidak benar. Kalau tidak mau menjadi sebuah ironi, alangkah baiknya, segala sesuatu yang kita anggap benar perlu yang namanya diuji. Sebuah kebenaran tidak mungkin dipaksakan. Sebuah kebenaran terkadang memerlukan istirahat, sambil berjalan pelan namun ujungnya mencapai kepastian. Ketika kebenaran dipaksakan, yang terjadi malah sebuah ironi atau malah ketidakbenaran.
Ada dua permasalahan pada tragedi Socrates di Athena. Socrates yang memperjuangkan nilai-nilai esensi dan universal yang transendental dan masyarakat yang menolak kehadiran kebenaran yang esensial dan universal. Namun demikian ironi hadir pada diri Socrates sebagai sebuah ironi. Ironinya adalah apa yang telah diperjuangkan dan ingin dicapai oleh Socrates dapat musnah seketika tatkala berhadapan dengan sebuah keingan yang pragmatis yang diwakili oleh kaum Sofis. Pada sisi ini, humor dapat hadir sebagai sebuah logika yang mebuat kita kebingungan. Namun demikian, dunia adalah panggung sandiwara. Apa yang kita inginkan, yang terjadi malah sebaliknya.
Maka sebuah ironi dalam hidup Socrates, sebagaimana ditulis oleh Gunawan Mohamad (2011), Socrates merupakan salah satu sosok yang turut andil ketika Athena mengalami kemerosotan. Ketika tahun 404 SM, ketika Athena sebagai negara yang demokratis kalah dan menyerah oleh Sparta yang merupakan negara militeristik. Selama sepuluh tahun Sparta perperang dan ingin mengalahkan Athena dan Athena mati-matian bertahan namun akhirnya kalah juga. Ketika Athena kalah, demokrasi yang diagung-agungkan dihapus oleh Sparta, maka oligarki naik dengan dukungan sang penakluk.
Ketika oligarki berkuasa, ia tidak mau ada yang mengganggu. Bila perlu para oposisi sedapatmungkin disingkirkan. Sang oligarki penuh kesemena-menaan memimpin Athena, membuang 5000 kaum demokrat serta membunuh 1.500 orang lainnya. Tepat pada tahun 403 SM, perlawanan dari bawah pelan tapi pasti dapat mengalahkan oligarki itu dan kemudian kaum demokrasi memimpin kembali. Salah satu pemuda yang tangguh dalam sepuluh tahun perlawanan itu adalah Socrates. Orang yang mampu melawan dingin salju, mampu bertahan karena kekurangan air, bahkan pakaiannya pun seadanya tapi mampu melawan dingin yang menyerang tubuhnya. Sebuah ironi yang sangat menyayat adalah para penguasa demokrasi yang dibantu Socrates inilah yang empat tahun ke depan yang menghukum mati dengan meminum racun Socrates.
Apa yang dialami oleh Socrates sebagai sebuah ironi, bukanlah kasus yang terakhir. Masih banyak ironi-ironi lainnya dengan berbagai latar dan sebab-akibat. Kasus Socrates bagi kita tidak perlu meratapi atas kematiannya. Dunia yang sarat dengan demokrasi hal seperti seperti sebuah tragedi. Apakah itu dapat diterima oleh akal sehat atau tidak. Yang kuat selalu ingin menguasai yang lemah, yang lemah kalau boleh terus menerus ditekan bahkan dilemahkan. Kekuatan-kekuatan yang terbaca terus dicoba untuk didekati lalu diiming-imingkan dengan berbagai hal. Bagi yang lemah terlena, bagi yang idealis ditekan bahkan terkadang diancam.
Masyarakat yang lemah keuntungan bagi penguasa dan masyarakat yang kreatif menjadi ancaman bahkan sering dicari cara untuk sedapat mungkin dilemahkan, kalau boleh selalu diawasi, lebih keras lagi dicari cara untuk menghukum dengan berbagai alasan, apakah dijebak atau dituduh dengan hukum dan pasal yang diciptakan. Demikianlah sebuah ironi dalam berdemokrasi. Dunia ini memang penuh ironi, dari ironi ke ironi tanpa ada kesadaran terhadap ironi sebelumnya. Ketika masyarakat dianggap semakin lemah, semua perangkat negara dimainkan oleh penguasa tanpa mengenal moral dan etika bernegara. Semua dijalankan secra terang-terangkan, para penguasa dengan penuh berani dan kelicikannya selalu berkata, “biar masyarakat sendiri yang menilai, toh kita menjalankannya demi dan untuk masyarakat”.
Ironinya lagi, Socrates adalah personifikasi yang kuat. Kita sebagai masyarakat merupakan sebuah ironi yang lemah (kalau tidak sadar bahwa kita dilemahkan). Socrates mempertahankan kebenaran penuh ironi dalam kehidupannya, bahkan merelakan nyawanya. Kita sebagai masyarakat mempertahankan ironi karena penuh ironi dalam membela sebuah kekuasaan, bahkan ironinya; hukum mencungkil mata dan hati kita. Humor dan ironi dapat berjalan dalam iringan akal yang kurang sehat. Sebuah ironi juga, bukan?
Leave a Review