Isu Mikrofon dan Bayangan Buram Demokrasi Pilkada Aceh

Oleh: Aulia Prasetya, S.Pd
Pimpinan Cabang Sekolah Kita Menulis Sabang

Momentum pilkada adalah perayaan demokrasi yang dinantikan setiap lima tahun sekali. Di sinilah rakyat menaruh harapan dan aspirasi mereka pada pemimpin yang diyakini mampu membawa perubahan. Salah satu tahapan penting dalam pilkada adalah debat publik, sebuah ajang yang seharusnya menjadi panggung bagi para kandidat untuk bertarung gagasan, mengupas visi, dan memaparkan solusi terhadap berbagai persoalan rakyat.

Namun, harapan ini ternodai ketika debat ketiga Pilkada Aceh 2024 justru diwarnai kontroversi yang tidak mencerminkan kedewasaan politik. Fokus publik yang seharusnya tertuju pada visi dan misi para kandidat, malah tersita oleh isu teknis yang sepele tetapi mencuri perhatian yaitu penggunaan mikrofon clip-on oleh salah satu pasangan calon.

Mikrofon merek Hollyland Lark M2 yang dikenakan Bustami Hamzah, calon gubernur nomor urut satu, menjadi pusat perdebatan. Sebagian menuding alat itu digunakan untuk komunikasi rahasia dengan tim, yang dianggap melanggar integritas debat. Di sisi lain, Bustami dengan tegas membantah tudingan tersebut, menjelaskan bahwa alat itu semata – mata digunakan untuk dokumentasi internal timnya. Apapun kebenarannya, isu ini telah mengaburkan esensi dari debat itu sendiri.

Ketika panggung debat disorot karena isu mikrofon, maka demokrasi telah kehilangan substansinya. Alih-alih menjadi ajang adu gagasan, debat berubah menjadi panggung drama yang merugikan semua pihak, terutama rakyat Aceh.

Situasi ini menunjukkan kurangnya kesiapan sebagian besar aktor politik Aceh dalam mengedepankan diskusi yang dewasa dan bermutu. Alih – alih fokus pada isu strategis seperti kemiskinan, pendidikan, atau infrastruktur, energi mereka habis untuk saling serang dalam isu teknis yang tidak substansial.

Sebagai rakyat Aceh, kita layak merasa kecewa. Pilkada, yang seharusnya menjadi ajang menawarkan solusi atas permasalahan yang kompleks, malah menjadi ladang konflik yang mengabaikan kepentingan masyarakat. Padahal, Aceh sedang menghadapi banyak persoalan mendesak, mulai dari tingginya angka pengangguran, pembangunan infrastruktur yang belum merata, hingga isu pengentasan kemiskinan. Debat harus menjadi ruang bagi kandidat untuk menawarkan solusi konkret atas tantangan ini, bukan sekadar saling sindir atau menciptakan drama.

Aceh membutuhkan pemimpin yang lebih dari sekadar pandai beretorika. Kita butuh sosok yang memiliki kapasitas teknokratis, keberanian untuk mengambil keputusan sulit, dan komitmen untuk menjalankan program kerja yang terukur. Visi besar seperti “Aceh Sejahtera, Berkeadilan, dan Beridentitas” atau “Aceh Islami, Maju, Bermartabat, dan Berkelanjutan” harus diterjemahkan ke dalam langkah nyata yang menjawab kebutuhan rakyat.

Namun, hingga debat terakhir, program – program konkret yang diharapkan masyarakat belum terjabarkan dengan baik. Kita patut bertanya, apakah para kandidat benar – benar memahami visi mereka sendiri, ataukah slogan tersebut hanya sekadar retorika kosong?

Polemik ini harus menjadi refleksi dan pelajaran penting bagi semua pihak.

Pertama, penyelenggara debat yaitu KIP Aceh perlu memperketat aturan teknis dan memastikan transparansi dalam setiap aspek penyelenggaraan. Aturan yang jelas dan tegas akan mengurangi ruang untuk spekulasi dan tudingan tak berdasar.

Kedua, para kandidat dan tim sukses mereka juga perlu mengedepankan etika berpolitik. Pilkada bukan sekadar tentang memenangkan kursi kekuasaan, melainkan juga ujian kepercayaan dari rakyat. Jangan sampai rakyat Aceh, yang seharusnya menjadi penentu utama dalam pesta demokrasi ini, justru merasa terabaikan karena panggung pilkada berubah menjadi arena konflik yang tidak produktif.

Ketiga, masyarakat juga harus lebih kritis dan cerdas dalam menyikapi situasi ini. Jangan biarkan perhatian kita teralihkan oleh isu – isu kecil yang tidak relevan dengan substansi pilkada. Sebagai pemilih, kita harus tetap fokus pada visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan oleh para kandidat.

Aceh adalah provinsi dengan sejarah panjang perjuangan dan warisan budaya yang kaya. Jangan biarkan pilkada kali ini merusak citra tersebut. Kita semua, baik kandidat, penyelenggara, maupun masyarakat, memiliki tanggung jawab untuk menjaga martabat demokrasi ini.

Pilkada adalah kesempatan emas untuk memilih pemimpin terbaik, bukan sekadar arena pertarungan ego atau panggung drama. Mari kita kembalikan esensi demokrasi kepada substansinya yaitu memilih pemimpin yang benar – benar mampu membawa Aceh ke arah yang lebih baik.

Rakyat Aceh, dengan segala tantangan dan harapannya, berhak mendapatkan pemimpin yang fokus pada solusi, bukan konflik. Pemimpin yang mengutamakan kepentingan rakyat, bukan sibuk menciptakan drama politik. Momentum pilkada ini harus menjadi bukti bahwa Aceh mampu melahirkan pemimpin yang tidak hanya cerdas tetapi juga bijaksana dan visioner.

Aceh layak mendapatkan yang terbaik. Jangan biarkan isu mikrofon atau kontroversi kecil lainnya mencuri perhatian kita dari hal yang lebih penting yaitu masa depan Aceh yang lebih sejahtera, bermartabat, dan berkeadilan. Mari kita bersama – sama menjaga agar demokrasi Aceh tetap jujur, bermutu, dan memberi manfaat nyata bagi rakyat.

KataCyber adalah media siber yang menyediakan informasi terpercaya, aktual, dan akurat. Dikelola dengan baik demi tercapainya nilai-nilai jurnalistik murni. Ikuti Sosial Media Kami untuk berinteraksi